RSS
email

Dapatkan Renungan Virtue Notes Langsung ke Email Anda!

0

Destroyed And Be Rebuilt

Renungan Harian Virtue Notes, 21 Januari 2011

Destroyed And Be Rebuilt



Bacaan: Yohanes 2: 18-22


2:18 Orang-orang Yahudi menantang Yesus, katanya: "Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?"

2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali."

2:20 Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?"

2:21 Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri.

2:22 Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan merekapun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.



Setelah menyucikan Bait Allah, orang-orang Yahudi menantang Tuhan Yesus agar Ia memberikan tanda bahwa ia berhak bertindak demikian. Jawab Yesus, “Runtuhkan Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (ay. 19) Dalam ayat tersebut kata yang benar adalah “runtuhkan”, bukan “rombak”, sebab kata Yunani yang digunakan adalah λύω (lyō). Seperti dalam terjemahan bahasa Inggris International Standard Version, “Destroy this sanctuary, and in three days I will rebuild it.”


Yohanes menjelaskan bahwa yang dimaksud Yesus adalah tubuh-Nya sendiri (ay. 21) dan itu digenapi-Nya dengan pengorbanan-Nya di kayu salib. Namun perkataan Yesus ini memang juga berarti bait Allah akan diruntuhkan, dan akan dibangun kembali di dalam Kristus. Maksudnya, keberagamaan gaya lama diruntuhkan, dan diganti dengan hidup baru di dalam Kristus.


Dengan demikian Kekristenan bukanlah agama yang melakukan perbaikan-perbaikan atas moral manusia, tetapi membuat seseorang hidup baru (Ef. 4:24). Hidup baru yang kita miliki akan membawa kita kepada klimaks, yaitu “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:19–20). Jadi, yang penting bukanlah sudah berapa lama kita menjadi Kristen, atau apakah kita rajin ke gereja, tetapi apakah kita mengenakan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus.


Hidup baru tidak cukup ditandai dengan “budaya baru” sebagai orang Kristen—pergi ke gereja, mengenal lagu rohani dan melakukan kegiatan gerejani. Kalau hanya seperti itu, sama saja dengan keberagamaan gaya lama di bait Allah yang fisik di bumi, padahal Tuhan mengatakan itu sudah dihancurkan. Hidup baru ditandai dengan kerinduan terhadap kerajaan Surga, hidup berkenan kepada Tuhan, dan melayani Tuhan dengan segenap hidup. Kalau ciri-ciri seperti ini belum tampak dan belum menguat dalam hidup kita, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, sudahkah kita hidup baru di dalam Tuhan?


Agar hidup baru dapat kita bangun, kita harus meruntuhkan hidup lama kita, melepaskan manusia lama kita. Ya, seperti tubuh fisik Kristus yang runtuh dan didirikan kembali, hidup kita yang lama juga harus runtuh, supaya hidup yang baru bisa didirikan. Meruntuhkan hidup lama kita sangat ditentukan oleh diri kita sendiri, apakah kita mau atau tidak. Sebagai manusia baru, kita harus bersedia menjadi seperti bayi yang selalu mengingini susu murni (1Ptr. 2:2), dan harus bersedia menjadi seperti orang kecil atau anak kecil (Mat. 11:25-27, Mat. 18:3).



Seperti tubuh fisik Kristus yang runtuh dan didirikan kembali, hidup kita yang lama juga harus runtuh, supaya hidup yang baru bisa didirikan.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Berapologetika

Renungan Harian Virtue Notes, 20 Januari 2011

Berapologetika



Bacaan: 1 Petrus 3: 15-16


3:15 Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,

3:16. dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.



Tidak jarang kita dihadapkan dengan orang yang mempertanyakan iman dan kepercayaan kita, dan mengapa kita bisa memercayai hal itu. Mengapa kita percaya Yesus adalah Tuhan? Mengapa kita percaya bahwa hanya Dialah jalan keselamatan? Mengapa kita berharap atas langit dan bumi baru? Rasul Petrus mengajarkan agar kita senantiasa siap memberikan pembelaan mengapa kita bisa mempunyai pengharapan di dalam Kristus, dan menyampaikannya dengan elegan.


Dalam teks sesungguhnya, dalam ay. 15 untuk “pertanggungjawaban” digunakan kata πολογία (apoloyá), yang sebetulnya lebih tepat diterjemahkan “jawaban” atau “pembelaan”. Dari akar kata inilah kita mengenal istilah apologetika, yang berarti pembelaan agama berdasarkan pola pikir yang sistematis.


Apabila kita memupuk pengenalan dan pengalaman pribadi kita dengan Tuhan, maka kita memiliki kesaksian dalam diri kita sendiri bahwa apa yang kita percayai adalah benar. Tetapi tidak cukup di situ, sebab kita harus menjelaskan kepada orang lain yang mempertanyakan iman kita, mengapa kita percaya. Semua orang Kristen pada dasarnya wajib berapologetika.


Ada tiga cara yang perlu kita pahami, agar kita bisa berapologetika. Pertama, kita harus benar-benar menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam kehidupan kita (ay. 15). Tuhan berarti Penguasa Tertinggi atau Majikan Agung; bila kita menguduskan-Nya sebagai Tuhan, berarti kita tidak hanya percaya kepada-Nya, tetapi juga menaati segala kehendak-Nya dengan segala kemampuan kita.


Kedua, kita harus mempelajari Firman Tuhan dengan serius. Kita harus mengalami pembaruan pikiran terus-menerus, sampai mampu menangkap kebenaran Tuhan, dan dengan logika atau nalar kita dapat membuktikan bahwa Tuhan kita adalah Allah yang benar, dan Alkitab adalah Firman-Nya yang benar. Ini bukan berarti Allah bisa dibatasi oleh akal manusia, tetapi pikiran kita dimampukan untuk memahami-Nya, sejauh yang mungkin dipahami oleh manusia. Dengan pemahaman yang solid mengenai kebenaran, kita dapat memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang diajukan oleh orang lain.


Ketiga, kita harus memiliki hidup yang saleh dalam Kristus (ay. 16). Dengan ini, orang bisa melihat bahwa kita benar-benar menghidupi kepercayaan kita. Kita bisa membuktikan bahwa kita sungguh-sungguh percaya apa yang kita percayai, bahkan menunjukkan kepercayaan kita secara ekstrem (Flp. 3:7–11). Selamat berapologetika.



Kita harus selalu siap untuk memberikan pembelaan atas iman kita dengan elegan.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Tahu Bahwa Jalan Kita Benar

Renungan Harian Virtue Notes, 19 Januari 2011

Tahu Bahwa Jalan Kita Benar



Bacaan: 1 Petrus 1: 8-10


1:8 Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan,

1:9 karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.

1:10. Keselamatan itulah yang diselidiki dan diteliti oleh nabi-nabi, yang telah bernubuat tentang kasih karunia yang diuntukkan bagimu.



Bukan maksud kami untuk mengganggu ketenangan hidup keberagamaan saudara, tetapi pertanyaan ini penting untuk dikemukakan dan dipersoalkan dengan sangat serius: bagaimana kita tahu bahwa jalan keselamatan dalam Yesus Kristus adalah jalan yang benar? Memang pertanyaan ini provokatif, namun pernahkah tebersit dalam pikiran kita, “Jangan-jangan nanti pada waktu mati ternyata saya tidak menjumpai Tuhan Yesus di Surga. Jangan-jangan Dia bukan Juruselamat yang benar. Ternyata Dia tidak pernah disalib, apalagi bangkit. Ternyata Dia bukan Anak Allah. Ternyata Dia adalah manusia biasa yang lahir dari hubungan gelap Maria dengan seorang pria yang tidak pernah diketahui. Ternyata Dia mitos belaka.”


Bagaimana nasib kekal kita, kalau seandainya fitnah yang selama ini ditujukan kepada Yesus ternyata benar? Mungkin kita berpikir, “Ah, tidak mungkin. Dia Juruselamat dan Anak Allah, yang telah mati dan bangkit serta duduk di sebelah kanan Allah Bapa.” Bagaimana kita bisa tahu?


Ya, amin bahwa kita mengasihi Dia dan percaya kepada-Nya sekalipun belum pernah melihat-Nya. Kepercayaan kita kepada Tuhan Yesus berawal dari tidak melihat. Dalam ay. 8 digunakan dua kata yang berbeda, yang berarti “melihat”. Pertama, adalah εδω (idō) yang selain “melihat”, juga berarti “mengenal”. Kata kedua adalah ράω (horaō) yang juga berarti “melihat”, tetapi dapat digunakan untuk melihat secara fisik maupun secara mental, melihat dalam pemahaman pikiran. Dalam ayat ini konteksnya adalah fisik.


Orang-orang Kristen penerima surat Petrus memang belum pernah bertemu Tuhan Yesus muka dengan muka, tetapi mereka bergembira dan bersukacita karena mereka yakin telah mencapai tujuan iman yaitu keselamatan jiwa mereka. Bagi mereka, Tuhan Yesus sangat nyata dalam pengalaman mereka sehari-hari, sehingga mereka percaya kepada-Nya. Itulah sebabnya pengalaman dengan Tuhan sangat penting, sehingga kita memiliki kesaksian yang tak terbantahkan, bahwa kita benar-benar tahu bahwa Tuhan Yesus itu nyata dan jalan kita sudah benar.


Dengan keyakinan yang pasti terhadap jalan Tuhan ini, maka kita benar-benar merasa tenteram mengikuti Tuhan dan mematuhi setiap ajaran-Nya, jalan hidup yang ditunjukkan-Nya. Pengenalan ini harus merupakan sebuah pengenalan konkret, bukan sekedar fanatisme bodoh sebagai pemeluk agama tertentu—dalam hal ini agama Kristen—juga bukan karena kita lahir di keluarga Kristen; tetapi karena kita benar-benar tahu bahwa jalan dalam Yesus itu benar.



Pengalaman dengan Tuhan sangat penting, sehingga kita benar-benar tahu bahwa jalan dalam Yesus itu benar.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Pengalaman Nyata

Renungan Harian Virtue Notes, 18 Januari 2011

Pengalaman Nyata



Bacaan: 1 Samuel 17: 32-37


17:32 Berkatalah Daud kepada Saul: "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu."

17:33 Tetapi Saul berkata kepada Daud: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit."

17:34 Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya,

17:35 maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya.

17:36 Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup."

17:37 Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." Kata Saul kepada Daud: "Pergilah! TUHAN menyertai engkau."



Daud adalah tokoh Alkitab yang digemari banyak orang. Ia telah mengumpulkan pengalamannya dari waktu ke waktu, sehingga ia mengenal siapa Allahnya tanpa keraguan sedikit pun. Kualitas pengalamannya dengan Tuhan tampak dalam sikapnya, saat ia dengan berani menawarkan dirinya kepada Raja Saul untuk menghadapi Goliat, si raksasa dari Filistin.


Pengalaman Daud tidak terlalu spektakuler atau adikodrati. Di masa mudanya, ia mengalami Tuhan melalui pengalamannya sebagai gembala. Ia memang seorang pemuda yang tangguh, yang berani mengejar dan menghajar singa dan beruang yang menerkam domba ayahnya. Tetapi dari pengalamannya itu ia mengakui penyertaan Tuhan. Ia mengalami Tuhan, dan mengakui bahwa Tuhanlah yang melepaskannya dari cakar singa dan beruang (ay. 37) sehingga yakin bahwa Tuhan akan melepaskannya pula dari Goliat. Ia sama sekali tidak mendengar suara Tuhan secara audibel atau mendapat visi yang memerintahkannya melawan Goliat, tetapi ia percaya.


Di sinilah kita mengerti mengapa Alkitab berkata bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati, sama seperti tubuh tanpa roh (Yak. 2:26). Kalau seseorang memiliki iman yang benar, niscaya tindakannya akan menunjukkan imannya, seperti Daud yang tanpa ragu percaya kepada Tuhan.


Perasaan kita tidak boleh menjadi berhala jiwa, sehingga kita tidak mampu mengalami Tuhan secara nyata apabila tidak memperoleh pengalaman emosional. Seperti Daud yang mengalami Tuhan saat menggembalakan domba, pengalaman dengan Tuhan bukan hal emosional semata. Kita harus belajar meletakkan emosi kita pada proporsinya yang benar. Sebagaimana Tuhan Yesus berkata, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu,” (Mat. 22:37) emosi dan pikiran kita harus kita manfaatkan sepenuhnya untuk mengasihi Tuhan; keduanya tidak boleh kita bunuh.


Maka kita harus belajar membedakan, apakah kita sedang menikmati Tuhan, atau hanya menikmati gelora emosional dari diri kita sendiri. Memang tidak mudah, tetapi kita akan mampu melakukannya dengan latihan terus-menerus. Belajarlah mengalami Tuhan secara nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga iman kita kepada Tuhan Yesus bukan iman yang kosong, melainkan iman yang berkualitas. Dengan memperhatikan dan merenungkan hal-hal yang kita alami dalam hidup kita setiap hari, seperti Daud, kita akan melihat bahwa Tuhan itu memang nyata, dan dapat dinikmati oleh kita (Mzm. 34:9).



Pengalaman dengan Tuhan secara nyata akan menumbuhkan iman yang berkualitas.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Allah Tidak Membedakan Orang

Renungan Harian Virtue Notes, 17 Januari 2011

Allah Tidak Membedakan Orang



Bacaan: Kisah Para Rasul 10: 34-36


10:34. Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: "Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.

10:35 Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.

10:36 Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang.



Allah kita tidak memandang muka, dan tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya (ay. 35). Kesimpulan ini diambil Rasul Petrus setelah melihat bahwa Kornelius, seorang Romawi, ternyata juga dapat memperoleh perkenanan dari Allah; sesuatu yang bertentangan dengan konsep orang Yahudi, bahwa hanya orang Yahudilah yang dapat memperoleh perkenanan Allah.


Dengan demikian kita harus percaya bahwa setiap manusia menerima anugerah yang sama untuk mengalami Tuhan. Bukan hanya tidak harus berasal dari bangsa tertentu; kita juga tidak membutuhkan karunia khusus untuk mengalami Tuhan. Kita tidak boleh tertipu dengan suara-suara yang berkata bahwa hanya orang-orang tertentulah yang diperlakukan khusus oleh Tuhan.


Dewasa ini ada ajaran-ajaran di lingkungan Kristen yang memberi kesan bahwa hanya orang-orang tertentu yang memiliki nilai khusus atau tempat khusus di hadapan Tuhan, sehingga mereka boleh mengalami Tuhan secara khusus pula melalui pengalaman spektakuler. Ajaran seperti ini sangat berbahaya.


Ada lima bahayanya. Pertama, melemahkan gairah jemaat untuk mengalami Tuhan secara pribadi. Kedua, membuat jemaat menuduh Tuhan pilih kasih dan berlaku tidak adil. Ketiga, menipu jemaat dengan tidak memberi kesaksian yang apa adanya, sebab pengalaman-pengalaman pribadi yang diceritakan banyak unsur subjektif, sehingga dengan ditambah keinginan untuk dielu-elukan, jadilah pengalaman yang spektakuler. Keempat, mengakibatkan orang percaya terkotak-kotak, seolah-olah dalam Kekristenan ada kasta—seperti dalam agama Hindu. Dianggap para pendeta termasuk golongan brahmana; aktivis jemaat atau majelis termasuk golongan kesatria; jemaat yang kaya golongan waisya; dan yang miskin, sudra. Kelima, membangkitkan kesombongan bagi orang-orang yang memiliki pengalaman spektakuler itu, bahkan sampai ke tingkat kultus individu.


Tuhan Yesus telah mati bagi kita, karena itu setiap kita harus merasa berharga di mata Tuhan. Janganlah kita merasa tidak berharga di mata-Nya apabila kita tidak memperoleh pengalaman yang spektakuler dengan-Nya; apabila ada suara seperti itu dalam hati kita, usirlah keluar dalam nama Yesus, sebab itu suara setan. Siapa pun kita, kita bisa mengalami Tuhan. Ingat perkataan Yesus, bahwa yang berbahagia adalah yang tidak melihat namun percaya. Justru kalau seseorang membutuhkan bukti fisik atau emosional baru percaya, itu menunjukkan kemiskinan imannya.



Setiap manusia menerima anugerah yang sama untuk mengalami Tuhan, sebab Ia tidak membedakan orang.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Tidak Melihat Namun Percaya

Renungan Harian Virtue Notes, 16 Januari 2011

Tidak Melihat Namun Percaya



Bacaan: Yohanes 20: 24-29


20:24 Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ.

20:25 Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya: "Kami telah melihat Tuhan!" Tetapi Tomas berkata kepada mereka: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya."

20:26. Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!"

20:27 Kemudian Ia berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah."

20:28 Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!"

20:29 Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya."



Tomas adalah salah seorang dari kedua belas murid Yesus yang terkenal sebagai seorang skeptis. Sekalipun murid-murid yang lain mengatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan Yesus yang telah bangkit dari antara orang mati, Tomas tetap tidak percaya sebelum melihat-Nya secara fisik, bahkan mencucukkan jarinya ke dalam luka bekas paku di tangan dan bekas tombak di lambung Yesus.


Syukurlah bahwa Tuhan Yesus masih mempunyai belas kasihan kepada Tomas, yang walaupun skeptis masih mau mencari-Nya. Yesus pun memperlihatkan bukti fisik kepada Tomas, dan mengatakan, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (ay. 29)


Untuk mengalami Tuhan, kita tidak boleh menuntut bukti-bukti lahiriah dan pengalaman fisik, baru kita percaya bahwa Ia itu nyata. Bukankah Yesus sendiri mengajarkan bahwa kita harus percaya walau tidak melihat? Bila Tuhan menunjukkan bahwa ada orang yang percaya walau tidak melihat, berarti Ia tidak menjamin bahwa Ia akan menyatakan diri-Nya secara fisik supaya kita percaya.


Dalam hal ini dibutuhkan iman, bukan perasaan atau tanda lahiriah. Jarak antara kita dengan Tuhan adalah sejauh iman kita. Bila kita memiliki iman maka jadilah; yang penting disini adalah percaya saja. Jangan kita merasa Tuhan hadir hanya karena bulu kuduk kita merinding, perasaan kita meledak-ledak, kita terharu sampai menangis atau bahkan rebah dalam kekhidmatan. Itu semua hanya pengalaman emosional, yang tidak dapat menjadi dasar pengalaman kita dengan Tuhan.


Perasaan manusia mudah berubah. Kita harus berlatih untuk berjalan dengan iman untuk percaya, bukan dengan penglihatan (2Kor. 5:7). Kita harus berani percaya walau kita tidak merasakannya melalui pancaindra atau emosi kita. Janganlah merasa kurang beriman hanya karena kita tidak memiliki pengalaman yang spektakuler dengan Tuhan. Justru ketika kita berani percaya sekalipun tidak memiliki pengalaman yang spektakuler, itulah yang berkenan di hadapan-Nya.


Membiasakan diri untuk percaya dengan cara demikian akan mendewasakan iman kita. Inilah percaya yang benar dan berkualitas. Memang tidak mudah memiliki kepercayaan seperti ini, sebab di zaman ini manusia menuntut bukti ilmiah untuk segala sesuatu. Mata manusia modern tidak bisa menerima sesuatu yang tidak ada “bukti nyata”, dan ini mengakibatkan kegagalan banyak orang untuk memercayai bahwa Tuhan sungguh-sungguh hidup (2Ptr. 3:3–7). Namun di akhir zaman yang rawan ini, jika kita beriman kepada-Nya, maka kita sungguh berbahagia.



Ketika kita berani percaya sekalipun tidak memiliki pengalaman yang spektakuler dengan Tuhan, itulah yang berkenan di hadapan-Nya.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
0

Allah Itu Ada

Renungan Harian Virtue Notes, 15 Januari 2011

Allah Itu Ada



Bacaan: Mazmur 14: 1-7


14:1. Untuk pemimpin biduan. Dari Daud. Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik.

14:2 TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah.

14:3 Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.

14:4. Tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN?

14:5 Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar.

14:6 Kamu dapat mengolok-olok maksud orang yang tertindas, tetapi TUHAN adalah tempat perlindungannya.

14:7 Ya, datanglah kiranya dari Sion keselamatan bagi Israel! Apabila TUHAN memulihkan keadaan umat-Nya, maka Yakub akan bersorak-sorak, Israel akan bersukacita.



Mazmur ini merupakan mazmur yang sangat penting, dan karenanya Daud mengulanginya dua kali dengan kata-kata yang hampir sama dalam Mzm. 53. Banyak orang yang tidak percaya bahwa Allah itu ada, sebab mata dunia tidak melihat Allah yang memang tidak kelihatan itu.


Sebagai orang yang ingin belajar mengalami Tuhan dengan nyata, pertama-tama kita harus percaya bahwa Allah itu ada. Tetapi parahnya, banyak orang yang mengaku Kristen tetapi berkelakuan sama dengan orang-orang bebal yang berkata dalam hatinya, “Tidak ada Allah.”


Dalam ay. 1, perhatikan bahwa dikatakan “dalam hatinya”. Ini berarti mereka bisa saja mengaku dengan mulut bahwa mereka percaya kepada Allah, tetapi dalam hatinya mereka berharap bahwa Allah itu tidak ada. Di sini digunakan kata אֱלוֹהִים (Ĕlohim), bukan יהוה (YHWH). YHWH adalah nama TUHAN yang menyatakan keberadaan-Nya, sebab berarti “AKU ADALAH AKU”; tetapi Ĕlohim berarti juga “hakim” atau “pemerintah”, sehingga ayat ini menyatakan bahwa orang bebal berharap bahwa tidak ada Allah yang menjadi Hakim atau Pemerintah alam semesta ini.


Maka apabila orang mengaku Kristen tetapi tetap berkelakuan bejat dan jahat, atau munafik—meski baik di permukaan tetapi di dalamnya mempunyai motif terselubung untuk kepentingan dan keagungan dirinya sendiri, itu sejatinya sama saja dengan menganggap Allah itu tidak ada, sebab ia tidak mengakui ada Hakim dan Penguasa alam semesta yang harus disembah olehnya.


Apabila kita ingin mengalami Tuhan dengan nyata, kita harus percaya dengan sungguh-sungguh bahwa Tuhan kita adalah Allah yang hidup dan nyata. Apa yang ditulis dalam Alkitab bukan omong kosong atau bualan semata, melainkan kebenaran yang dapat dipercayai. Jika Tuhan menyatakan diri-Nya kepada tokoh-tokoh Alkitab, itu adalah fakta kehidupan dan pengalaman konkret yang mereka alami. Peristiwa-peristiwa dalam Alkitab itu harus terus dibaca berulang-ulang, sehingga kisah-kisah tersebut menjadi nyata dan dekat dengan hidup kita.


Membaca Alkitab bukan seperti memasuki museum, melainkan memasuki realitas hidup, seperti hidup kita hari ini. Kita harus mempercakapkan Firman Tuhan setiap hari dan merenungkannya siang dan malam. Kita harus menjunjung tinggi pengalaman tokoh-tokoh iman sebagai petunjuk kita bergaul dengan Tuhan. Dengan demikian kita tidak akan terpengaruh dengan pola tindak manusia yang tidak menganggap Allah itu ada, tetapi mata rohani kita melihat Allah dengan jelas.



Dengan memercayai Alkitab, mata rohani kita akan melihat Allah dengan jelas.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.

Read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Lisensi Creative Commons
Renungan Virtue Notes is licensed under a Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di virtuenotes.blogspot.com.
 
Powered By Blogger