Renungan Harian Virtue Notes, 23 Agustus 2011
Progresivitas Moral Manusia
Bacaan: Kejadian 1: 26
1:26. Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Sejatinya dengan kehendak bebasnya, Adam sang manusia pertama bisa mencapai kesempurnaan—tentu tidak akan menyamai Allah. Dengan kehendak bebasnya manusia bisa dan harus terus-menerus mengalami pendewasaan dalam kualitasnya (progresif), bukan seperti hewan yang kemampuannya terbatas. Seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, maka kemampuan moral yang dimilikinya bisa bertumbuh sampai pada tingkat tidak bisa dijatuhkan oleh Iblis.
Manusia diciptakan Allah segambar dan serupa dengan-Nya. Dalam teks asli nya, digunakan kata צֶּלֶם (tsélém) dan דְּמוּת (demûth). Tsélém hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia (pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakikat kerja). Kata ini lebih menunjuk kepada bentuk gambaran, rupa atau citra. Adapun demûth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Artinya lebih menunjuk kepada kemiripan. Berarti keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia itu progresif, bukan sesuatu yang statis. Kemiripan ini bisa terus dikembangkan.
Allah hendak membawa manusia menjadi seperti diri-Nya, mengetahui apa yang baik dan jahat tetapi tidak berbuat jahat. Namun manusia ingin menjadi seperti diri Allah dengan mengikuti jejak Lucifer, dan akhirnya memberontak sesuai dengan anjuran si ular. Hasrat untuk menjadi seperti Allah itulah yang menjatuhkan manusia. Memang setelah jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi tahu tentang yang baik dan jahat. Tetapi ia terikat dengan keinginan jahat, terjual di bawah kuasa dosa (Rm. 7:14). Manusia semakin bertumbuh dalam kejahatan, semakin menyakiti hati Tuhan, bahkan kecenderungannya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5).
Kejatuhan itulah yang menghentikan langkah maupun progresivitas manusia untuk memiliki kesempurnaan Bapa. Allah menganggap manusia yang hidup dalam pelanggaran ini sebagai manusia yang mati (Ef. 2:1). Dikatakan mati di sini bukan berarti manusia tidak bisa berbuat baik. Manusia masih bisa berbuat baik, tetapi bukan baik menurut standar Allah. Sebagai buktinya, dalam Perjanjian Lama kita menemukan sosok-sosok yang sulit dikatakan jahat, seperti Henokh, Ayub, Yusuf dan lain sebagainya. Artinya manusia masih bisa berbuat baik dalam ukuran yang terbatas, namun tidak bisa bertumbuh dalam kodrat Ilahi. Tetapi kita yang hidup sebagai umat Perjanjian Baru dituntut untuk hidup sempurna sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Kita bisa berkembang secara progresif ke arah yang benar.
Sebagai orang percaya, kita bisa berkembang secara progresif menuju kesempurnaan sesuai dengan kehendak-Nya
Diadaptasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar