Renungan Harian Virtue Notes, 6 Agustus 2011
Berperasaan
Bacaan: Kejadian 8: 21
8:21 Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.
Setelah air bah surut, Nuh mempersembahkan kurban di mezbah bagi Tuhan, Tuhan mencium persembahan yang berbau harum itu. Persembahan yang berbau harum itu menunjukkan bahwa hati Tuhan disukakan atas apa yang dilakukan oleh Nuh. Ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi sebelum air bah. Saat itu segala perbuatan manusia memilukan hati Tuhan, sampai dikatakan bahwa Tuhan menyesal telah menciptakan manusia (Kej. 6:6).
Tuhan yang kita sembah adalah pribadi yang berperasaan. Ia seperti kita yang adalah gambar-Nya, bisa didukakan atau disukakan. Namun fakta ini sering kita lupakan. Karena keegoisan kita, maka kita tidak mempedulikan perasaan-Nya. Kita menganggap Ia ada untuk kepentingan kita, karenanya kita berhak meminta, menuntut, mengklaim apa saja yang kita inginkan dari-Nya. Di mulut kita katakan “Aku ingin menyenangkan-Mu Tuhan,” tetapi hati kita berkata, “Agar Engkau menyenangkanku lebih banyak lagi melalui memberikan apa yang aku minta.”
Memang manusia yang egois lebih memperhatikan perasaannya sendiri. Ia mudah tenggelam oleh kegalauan yang mencekam jiwanya. Bukankah kalau kita sedang menghadapi suatu masalah, biasanya kita hanya memedulikan perasaan kita sendiri? Boro-boro perasaan Tuhan, perasaan orang lain pun tidak kita indahkan. Tetapi sebagai orang Kristen yang dewasa, tidak boleh kita pelihara kecerobohan itu.
Tuhan tidak boleh dan memang tidak bisa diperlakukan seperti kita memperlakukan sesama kita. Jika kita datang kepada Tuhan dengan membawa persoalan yang membuat hati kita tertekan, janganlah kita hanya memperhatikan kesediaan-Nya menolong kita, tanpa memperdulikan perasaan-Nya.
Jika fokus kita saat datang kepada Tuhan hanyalah pertolongan-Nya, berarti kita curang sebab kita ingin Tuhan memperhatikan hati kita, tetapi kita tidak perlu mempedulikan hati-Nya. Inilah kebiasaan hidup orang beragama pada umumnya, yang melayani dewa-dewa agar mereka memelihara dan menyenangkan umatnya.
Allah kita tidak sama dengan dewa-dewa agama pada umumnya. Ia Sang Mahatahu yang mampu meneropong setiap hati; Ia tahu apa motif hati kita pada waktu berurusan dengan-Nya. Ia justru menghendaki agar orang percaya lebih mempedulikan perasaan Tuhan dan tidak mempedulikan perasaannya sendiri. Ini menunjukkan rasa hormat kita kepada Tuhan dan pengakuan bahwa kita memang diciptakan untuk kepentingan-Nya, termasuk memuaskan hati dan perasaan-Nya. Sebagai Sang Khalik dan Allah yang Mahatinggi, Ia layak menerimanya
Mempedulikan perasaan Allah lebih penting daripada mempedulikan perasaan kita, sebab kita memang diciptakan untuk kepentingan-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar