RSS
email

Dapatkan Renungan Virtue Notes Langsung ke Email Anda!

0

Tanah Yang Baik

Renungan Harian Virtue Notes, 28 Juni 2010
Tanah Yang Baik

Bacaan : Matius 13 : 8–9, 23


13:8 Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.
13:9 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!"

13:23 Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat."


Hasil yang keempat dari benih yang ditabur adalah benih yang jatuh di tanah yang baik, lalu bertumbuh dan berbuah. Berarti dalam perumpamaan ini, yang salah bukan benihnya tetapi tanahnya. Benih ialah Injil Kerajaan Surga yang murni, bukan Injil palsu.

Yang TUHAN Yesus ingin tegaskan adalah, banyak orang yang mendengar Injil Kerajaan Surga yang murni pun tidak juga dapat bertumbuh. Itu karena hati mereka bukan merupakan tanah yang siap menerima Firman TUHAN. Dan memang kenyataannya hati sebagian besar manusia memang bukan tanah yang baik.

Tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman dan mengerti. Yang dimaksud “mendengar” di sini (ἀκούω,akuō) ialah “mendengarkan dengan penuh perhatian”. Maksudnya tidak sekadar datang ke gereja pada hari Minggu dan mendengarkan khotbah dengan sepintas lalu; tetapi “mendengar” ialah rajin mencari dan mendengarkan pelayanan Firman TUHAN yang murni. Ini sudah merupakan kesukaannya dan dipandangnya sebagai kebutuhan, bukan kewajiban.

Kata “mengerti” dalam ay. 23 aslinya ditulis συνίημι (sünyēmi), yang berarti “merangkai fakta-fakta menjadi pengetahuan yang rapi dan utuh”. Sama seperti merangkai kepingan-kepingan jigsaw puzzle menjadi satu gambar yang utuh. Berarti “mengerti” adalah kegiatan aktif untuk memikirkan firman-firman yang didengarnya, dan berusaha memahami hubungan yang sebagaimana mestinya. Kemudian ia menyimpan firman itu dalam hatinya dan melakukannya. Jadi mengerti bukan hanya pengertian akali semata, melainkan suatu aktivitas mendalami firman dan menghayatinya, sehingga seseorang dapat menjadi pelaku firman.

Di tanah yang baik, buah dapat bertumbuh dengan pelipatgandaan yang luar biasa. Alkitab mengajarkan bahwa buah ialah: jiwa-jiwa yang dimenangkan (Rm. 1:13); kekudusan (Rm. 6:22); berbagai kebaikan dan kebenaran yang disebut buah Roh (Gal. 5:22-23); serta pekerjaan baik (Kol. 1:10). Maka agar kita bisa berbuah banyak, marilah kita belajar untuk menjadikan hati kita tanah yang baik. Bersedialah untuk mendengarkan Firman yang murni dengan rendah hati dan berusaha menggalinya hingga mengerti dengan sabar sampai kita menutup mata.
Read more
0

Tipu Daya Kekayaan

Renungan Harian Virtue Notes, 27 Juni 2010
Tipu Daya Kekayaan

Bacaan : Matius 13 : 7, 22; 1 Timotius 6 : 9–10


Matius 13 : 7, 22
13:7 Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati.

13:22 Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.

1 Timotius 6 : 9–10
6:9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.
6:10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.


Selain kekhawatiran, TUHAN Yesus menjelaskan bahwa semak duri adalah tipu daya kekayaan. Mengapa kekayaan dianggap semak duri? Dalam 1Tim. 6:9–10 dijelaskan bahwa karena ingin kaya, orang akan menghalalkan segala cara, tidak tulus, dan penuh kepentingan sendiri.

Jadi tipu daya kekayaan merupakan semak duri, sebab hasrat ingin kaya sangat efektif untuk menggeser fokus kita dari pencarian Firman kepada hal-hal duniawi.

Tipu daya kekayaan sejajar dengan semak duri yang dikatakan bertumbuh tinggi, sebab pola pikir bahwa jadi orang kaya itu enak, menyenangkan dan patut dipertahankan adalah pola pikir yang bertumbuh. Contohnya, seorang anak yang belum pernah ke Dunia Fantasi (Dufan) di Jakarta dan sangat ingin ke sana, akan memimpikan Dufan dan bahkan tidak bisa tidur apabila keesokan harinya ia akan pergi ke sana. Bila ia sakit, ia akan berusaha sembuh. Bila ia dijanjikan orang tuanya pergi ke Dufan jika nilai ulangannya bagus, padahal selama ini nilai ulangannya jelek, ia akan berusaha keras untuk bernilai tinggi atau ‘terlihat’ bernilai tinggi. Dan ketika sudah pernah ke Dufan, anak tersebut masih ingin pergi lagi, sebab ia belum puas dengan wahana-wahana di sana. Kemudian dia akan minta ke Taman Mini, Taman Safari, Pulau Sentosa di Singapura, bahkan Disneyland untuk mengulang kenikmatan yang dia rasakan di Dufan.

Ketika kita ganti Dufan dengan gaji besar, mobil mewah, rumah megah, istri cantik, fasilitas bintang lima dan kehidupan lainnya, itu semua adalah tipu daya, sebab kenikmatannya tidak pernah memuaskan; harus diulangi dan ditambah. Karena otak kita adalah otak manusia abad ke-21, maka cukup canggihlah kita untuk berlindung di balik semua pembenaran agar tidak dianggap salah. Namun sebenarnya itu masih berkaitan langsung dengan warisan pola pikir nenek moyang kita.

Lalu apa masalahnya sehingga ini menyebabkan kebenaran tidak berbuah? Ini suatu kondisi yang lama-lama menyedot seluruh perhatian kita, sampai kita sudah tidak mampu lagi berpikir sesuai Firman bahwa penyelenggaraan hidup yang tidak sesuai kehendak TUHAN adalah kejijikan bagi-NYA, dan bahwa kekayaan dan fasilitas hidup adalah kesia-siaan apabila kita tidak mau diubah oleh kebenaran Injil.

Jadi berhati-hatilah, karena sekalipun kita tetap ke gereja dan mengaku Kristen, artinya tetap hidup sebagai tanaman, namun kita bisa tidak berbuah akibat terhimpit dan terbonsai oleh pertumbuhan kekhawatiran dunia dan tipu daya kekayaan. Tanggalkan itu semua dan fokuskan hati kita hanya kepada Kerajaan Surga, agar kita bisa berbuah.
Read more
0

Kekhawatiran Dunia

Renungan Harian Virtue Notes, 26 Juni 2010
Kekhawatiran Dunia

Bacaan : Matius 13 : 7, 22; 1 Petrus 1 : 17–18


Matius 13 : 7, 22
13:7 Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati.

13:22 Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.

1 Petrus 1 : 17–18
1:17 Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.
1:18 Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas,


Ketika seorang penabur menabur benih, ada benih yang jatuh di tanah yang ditumbuhi semak duri. Harus kita pahami, bahwa semak duri adalah tanaman juga, berarti ada kehidupan; namun jelas bukan tanaman yang diinginkan TUHAN. Tidak dikatakan bahwa benih yang ditabur ini mati; benih tersebut masih hidup menjadi tanaman, namun tidak berbuah. Padahal penabur menginginkan tanaman tersebut berbuah. TUHAN mengatakan bahwa salah satu yang digambarkan dengan semak duri ialah kekhawatiran dunia. Apakah itu?

Kita hidup didalam suatu pakem yang dijelaskan Rasul Petrus di 1Ptr. 1:17–18, yaitu cara hidup yang diwarisi dari nenek moyang kita. Pakem-pakem yang sudah kita anggap menjadi jalan hidup ini misalnya: secara ekonomi, kita harus memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Secara sosial, kita merasa perlu untuk berteman, bersosialisasi, berpasangan, beranak cucu, serta membangun keluarga dengan baik. Mengenai keamanan hidup, kita perlu mempersiapkan segala sesuatu, seperti tabungan, asuransi dan rencana masa depan. Jika tidak demikian, kita khawatir tidak dapat menyelenggarakan kehidupan dengan wajar dan normal. Kita khawatir akan masa depan kita dan anak cucu kita. Itulah cara hidup yang kita warisi dari leluhur kita. Dengan dalih “sayang anak”, secara tidak langsung mereka mengajarkan bahwa kehidupan harus dibangun dengan penuh kekhawatiran.

Di sini letak kata kunci kekhawatiran dunia adalah seluruh aspek normal penyelenggaraan kehidupan dimana kita menjadi sangat serius, sampai tahap khawatir. Tahap khawatir adalah tahap dimana kita menganggap ini semua adalah hal yang terpenting. Dengan pola pikir seperti demikian, kita sedang menumbuhkan semak duri dalam diri kita. Perlu diketahui bahwa pola pikir ini tidak datang tiba-tiba, namun dari perjalanan hidup kita, pelajaran setiap hari, kesalahan yang kita lakukan, nasihat orang tua dan banyak hal lain, yang membawa kita pada satu kesimpulan bahwa hidup itu berat dan rumit. Dengan kekhawatiran itu, ketika diperhadapkan dengan pilihan untuk mengejar kebenaran Kristus atau menyelenggarakan kehidupan, kita gagal memilih yang benar. Sampai terus dan terus dan kita sudah tidak bisa kembali lagi, alias tidak bisa berbuah.

Untuk mencegah semak duri tumbuh, ingatlah perkataan TUHAN Yesus, “Carilah dulu kerajaan ALLAH dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jangan kamu khawatir.” (Mat. 6:33–34).Utamakanlah kerajaan ALLAH, dan percayalah bahwa TUHAN tidak akan pernah meninggalkan kita.
Read more
0

Benih Yang Jatuh Di Tanah Yang Berbatu

Renungan Harian Virtue Notes, 25 Juni 2010
Benih Yang Jatuh Di Tanah Yang Berbatu

Bacaan : Matius 13 : 5–6, 20–21


13:5 Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis.
13:6 Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar.

13:20 Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira.
13:21 Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad.


Dalam perumpamaan tentang penabur, TUHAN Yesus menjelaskan bahwa benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu ialah yang mendengar firman, menerima dengan gembira, namun kemudian murtad ketika ada penindasan dan penganiayaan karena firman itu. Di dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Firman TUHAN jatuh di tanah yang bercampur dengan batu. Masalahnya sebenarnya bukan pada batunya, melainkan karena tanahnya tidak banyak (ay. 5). Jadi benih bertunas, namun karena tidak cukup dalam masuk ke tanah, pada saat kena terik matahari, benihnya mati.

Ini merupakan fenomena orang Kristen baru, yang percaya Injil karena berbagai sebab, seperti perkawinan, mencari kesembuhan, penyelesaian masalah ekonomi, dan sebagainya. Ia menerima Injil sebagai kabar baik yang dapat menyelesaikan masalahnya. Namun ketika berusaha mendalaminya, ia baru menyadari bahwa Injil yang murni itu tidak seharusnya diterimanya dengan gembira, karena ternyata Injil mengharuskannya memikul salib dan menyangkal dirinya. Ketika ia menghadapi aniaya kecil seperti hinaan atau celaan, atau penindasan, ia seperti kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan akibat status Kristennya, ia merasa Kekristenan ternyata terlalu berat untuk dijalaninya. Maka ia pun meninggalkan Kristus.

Berarti tanah yang berbatu ini merupakan orang yang menganggap Kekristenan sama seperti agama-agama lain, yaitu sarana penyelesaian kebutuhan jasmani. Ia tidak sanggup menerimanya sebagai jalan hidup. Ia tidak sanggup menerima Injil yang murni, yaitu Kabar Baik menurut ALLAH, bukan menurut manusia. Akibatnya Firman tidak bisa berakar dalam dirinya.

Untuk mencegah diri kita menjadi tanah yang berbatu, kita harus belajar beberapa hal. Pertama, menyadari bahwa Kekristenan bukan sekadar status di KTP, melainkan menjadi pengikut Kristus, apa pun risikonya.Kedua, menerima Kekristenan sebagai jalan hidup dan bukan agama semata. Kekristenan mengharuskan kita memikul salib dan menyangkal diri. Ketiga, memperbanyak penggalian Alkitab setiap hari agar Firman TUHAN itu dapat berakar dalam diri kita. Penggalian kebenaran Alkitab tidak bisa menjadi sambilan, sebab seperti akar tanaman yang tidak pernah absen menyuplai nutrisi, maka kebenaran itu menyita seluruh hidup kita. Dengan kebenaran yang berakar, ketika panas terik penindasan datang, kita tetap teguh berdiri di pihak TUHAN.
Read more
0

Benih Yang Jatuh Di Pinggir Jalan

Renungan Harian Virtue Notes, 24 Juni 2010
Benih Yang Jatuh Di Pinggir Jalan

Bacaan : Matius 13 : 1–4, 18–19


13:1. Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau.
13:2 Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai.
13:3 Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: "Adalah seorang penabur keluar untuk menabur.
13:4 Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis.

13:18 Karena itu, dengarlah arti perumpamaan penabur itu.
13:19 Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan.


Sering kita mendengar perumpamaan mengenai penabur, namun tetap baik bagi kita mendalami bagaimana TUHAN menginginkan kita berlaku sebagai umat-NYA, yang diumpamakan seperti tanah yang menerima benih yang ditabur.

TUHAN mengatakan bahwa benih yang jatuh di pinggir jalan melambangkan orang yang mendengar Firman TUHAN, namun tidak mengertinya. Kata Yunani yang digunakan untuk “mengerti” ialah συνίημι (sünyēmi), artinya “mengerti, dalam arti kegiatan merangkai fakta-fakta menjadi pengetahuan yang utuh”. Sehingga ayat ini bukan berarti bahwa Firman TUHAN yang ditaburkan terlalu sulit dipahami bagi si penerimanya, melainkan si penerima itu tidak mengerti, karena ia tidak sungguh-sungguh berusaha mau mengerti.

Mengapa kalau kita tidak mau mengerti maka firman itu dirampas oleh si jahat? Ini berbicara mengenai situasi dalam hati kita. Bila kita tidak sungguh-sungguh mau mengerti Firman, iblis akan berusaha mengambil dengan paksa, agar kebenaran itu tidak perlu kita pahami sama sekali. Jadi iblis tidak takut orang pergi ke gereja dan mengakui Yesus adalah TUHAN, sebab kalau orang itu tidak mengerti Firman dengan benar, kehadirannya di gereja sama dengan menghadiri pertemuan biasa, dan pengakuannya terhadap Yesus hanya di bibir saja, tidak sampai memengaruhi seluruh kehidupannya. Tidak heran banyak orang Kristen yang murtad.

Yang paling iblis takuti ialah pengertian kita terhadap Firman TUHAN. Sebab dengan mengerti Firman, proses selanjutnya akan terjadi terhadap manusia itu, yaitu melakukan Firman tersebut. Orang yang tidak mengerti pasti tidak dapat menjadi pelaku Firman. Betapa luar biasanya orang Kristen yang mengerti Firman TUHAN dan kemudian melakukannya. Itu sebabnya iblis sangat berkepentingan untuk membuat orang tidak mengerti, yaitu dengan cepat-cepat merampasnya.

Cara iblis merampas Firman ialah bekerja sama dengan pikiran manusia yang tidak mau mengerti itu. Orang yang tidak mau mengerti akan mempertahankan cara berpikir manusia duniawi yang tidak mau percaya dengan Injil yang murni. Ini mengakibatkan Firman yang diterimanya dilupakannya begitu saja. Orang-orang ini, seperti orang Farisi di zaman Yesus, sengaja menjadi tanah pinggir jalan.

Jadi janganlah ada pelayanan yang hanya didasarkan pada sugesti bahwa orang harus percaya saja tanpa mengerti. Pelayanan di gereja TUHAN harus berusaha keras untuk membuat jemaat mengerti kebenaran Firman TUHAN.
Read more
0

Moral Agama Dan Kekristenan

Renungan Harian Virtue Notes, 23 Juni 2010
Moral Agama Dan Kekristenan

Bacaan : Yeremia 31 : 31–34


31:31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
31:32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN.
31:33 Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.
31:34 Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."


Sesungguhnya ALLAH memberi kesanggupan kepada kita untuk hidup menurut kehendak-NYA. IA memberi potensi pada manusia batiniah kita agar berkenan kepada-NYA (ay. 33). Karena batin ini yang menjadi sumbernya, maka ALLAH memberikan atau meletakkan potensi di dalam batin manusia. Potensi inilah yang memberi peluang kepada seseorang yang telah lahir baru untuk mengembangkan benih ilahi yang telah ditaruh ALLAH dalam diri manusia. Potensi ini jugalah yang akan membawa seseorang kepada kehidupan sebagai putra-putra ALLAH Yang Mahatinggi. Pertumbuhan benih ilahi ini tergantung respons kita setiap hari terhadap anugerah ALLAH, yaitu Firman-NYA dan pembentukan-NYA.

Sistem-sistem moral agama, yaitu pola kelakuan orang beragama pada umumnya, justru dapat membutakan mata pengertian kita terhadap kebenaran Injil. Sistem moral agama ini misalnya: menganggap kelakuan baik merupakan ukuran seseorang untuk berkenan kepada TUHAN; menganggap amal dan ibadah kepada TUHAN sebagai jasa; menggunakan ritual sebagai sarana untuk menjangkau TUHAN; berusaha menyenangkan hati TUHAN agar keamanan dirinya dijaga-NYA; menganggap pemimpin agama sebagai perantara untuk menjangkau TUHAN; dan lain sebagainya. Karena itu, TUHAN tidak menyukai sistem moral agama tersebut. Tidak boleh hal-hal tersebut mewarnai iman Kristiani kita.

Perjanjian Baru adalah soal batin, bukan soal ritual lahiriah. Hukum TUHAN telah ditaruh-NYA dalam batin kita, dan ditulis-NYA dalam hati kita. Karena itu kebaktian di Gereja pun harus merupakan ungkapan kasih kita kepada TUHAN. Kebaktian di Gereja bukan untuk sarana menyenangkan hati TUHAN guna mencari berkat jasmani. Untuk ini perlu dipertanyakan, apa motif kita selama ini dalam bergereja?

Bagi para rohaniwan, jangan sampai juga merasa bangga dianggap sebagai orang baik dari penampilan lahiriahnya. Itu adalah kesombongan rohani khas orang Farisi. Bagaimana mungkin Gereja yang dipimpin seorang yang memancarkan roh Farisiisme diberkati TUHAN secara benar?

Untuk itu dituntut hati yang tulus dan jujur. ALLAH lah yang mengenal kita secara lengkap dan sempurna lebih dari kita mengenal diri kita sendiri. IA akan membuka mata rohani kita untuk mengenal diri kita sendiri, seperti cara-NYA memandang kita. TUHAN pun tiada henti-hentinya menyelidiki diri kita untuk membawa kita kepada kesempurnaan-NYA.
Read more
0

Menumbukan Kepekaan

Renungan Harian Virtue Notes, 22 Juni 2010
Menumbuhkan Kepekaan

Bacaan : Matius 22 : 37–40


22:37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
22:38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
22:40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."


Selama ini ada sekelompok anak-anak TUHAN yang berurusan dengan TUHAN untuk mengembangkan kepekaan terhadap suara-NYA melalui intelektualitas mereka, sehingga mereka menjadi rasionalis. Sebaliknya, ada kelompok lain yang hanya menekankan emosi dan pengalaman batiniah, sehingga mereka menjadi mistis; maksudnya, mengutamakan hal-hal mistik. Seharusnya, untuk dapat memiliki kepekaan, seorang anak TUHAN tidak boleh ekstrem di kedua sisi tersebut. Kita harus menekankan kedua hal tersebut yaitu hal-hal intelektual dan emosional. Satu hal lain yang sangat penting adalah moral. TUHAN mau berjalan dengan orang yang bermoral baik atau mau bertobat setiap hari.

Dalam persekutuan kita dengan TUHAN, IA hendak melibatkan seluruh eksistensi diri kita: intelektual, emosional, dan moral. Oleh sebab itu kita tidak dapat setengah-setengah dalam berurusan dengan-NYA. Untuk lebih peka mendengar suara TUHAN secara murni, kita harus berpijak pada hukum terutama, yaitu mengasihi TUHAN dengan segenap hidup dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Oleh sebab itu ada langkah-langkah penting yang harus kita pahami. Pertama, mengaktifkan intelektualitas kita. Artinya, kita menggunakan pikiran untuk menangkap wahyu TUHAN. Yesus mengatakan, kita harus mengasihi ALLAH dengan akal budi kita. Berarti, pikiran harus dioptimalkan menangkap Firman TUHAN.

Kedua, mengaktifkan emosi atau perasaan. ALLAH kita nyata; IA dapat menyentuh perasaan kita. Untuk ini perasaan kita harus belajar menyentuh dan disentuh TUHAN. Tentu kita harus belajar memilah perasaan dengan bijak, supaya membedakan manakah yang rohani dan jiwani semata-mata. Rohani maksudnya kita benar-benar merasakan kehadiran TUHAN, bukan sebuah ledakan perasaan yang akhirnya malah membuat kita buta terhadap kehadiran TUHAN. Bukankah Alkitab berkata, “Kasihilah TUHAN ALLAH mu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu?”

Ketiga, kita harus bertindak untuk hidup dalam kekudusan. Orang tidak dapat bersekutu dengan TUHAN apabila hidupnya cemar. Kita memang sering tercemari oleh dunia sekitar, sadar atau tidak. Tetapi kita harus bertobat setiap saat. Dari pertobatan tersebut kita bertumbuh dalam kedewasaan termasuk ketulusan hati, kejujuran, dan moral yang unggul. Di sini kita menyiapkan fasilitas untuk dapat menangkap suara TUHAN (Mat. 5:8). Dengan usaha pergumulan dari menit ke menit, niscaya kita dapat menumbuhkan kepekaan kita terhadap suara-NYA.
Read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Lisensi Creative Commons
Renungan Virtue Notes is licensed under a Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di virtuenotes.blogspot.com.
 
Powered By Blogger