Renungan Harian Virtue Notes, 12 Desember 2011
Mengisi Bejana Hati
Bacaan: Kejadian 25:29-34
25:29 Pada suatu kali Yakub sedang memasak
25:30 Kata Esau kepada Yakub: "Berikanlah kiranya aku menghirup sedikit dari yang merah-merah
25:31 Tetapi kata Yakub: "Juallah dahulu kepadaku hak kesulunganmu
25:32 Sahut Esau: "Sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?"
25:33 Kata Yakub: "Bersumpahlah
25:34 Lalu Yakub memberikan roti dan masakan kacang merah
Orang Ibrani sangat memandang tinggi putra sulung. Putra sulung yang dilahirkan dipandang sebagai simbol kekuatan dan kegagahan orang tuanya. Karena itu ia memperoleh hak kesulungan, yaitu hak istimewa sebagai anak sulung, yaitu berkat dan harta warisan yang lebih banyak dari orang tuanya.
Namun kita melihat Esau memandang rendah hak kesulungannya. Hanya karena saat kelelahan ia melihat adiknya, Yakub, memasak kacang merah ia pun menjual hak kesulungannya kepada Yakub. Ia pun tidak dapat memperbaiki kesalahannya dan tidak dapat memperoleh berkat yang semestinya dimilikinya sebagai anak sulung.
Hak kesulungan yang berupa berkat itu merupakan lambang dari hak kita memperoleh berkat-berkat rohani dari Tuhan. Kalau Esau memandangnya lebih rendah daripada sepiring makanan, apakah kita memandang hak ini berharga dan layak diperjuangkan? Berkat-berkat rohani tersebut berupa persekutuan yang indah dengan-Nya dan pembaruan manusia rohani kita ke arah kesempurnaan.
Jika kita memandangnya berharga dan layak diperjuangkan, maka kita harus mengisi bejana hati kita dengan kebenaran. Seperti kita tahu bahwa manusia pertama sejak awal diperhadapkan dengan pilihan untuk makan buah pohon kehidupan atau buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, kehidupan kita sebagai orang percaya hari ini juga diperhadapkan dengan pilihan serupa: apakah kita hendak mengisi jiwa kita dengan pengetahuan kebenaran dari Tuhan, atau dari dunia. Hal-hal dari dunia adalah yang memuaskan kedagingan kita, tetapi tidak membawa kita kepada kesempurnaan.
Kalau kita mengisi bejana hati kita dengan hal-hal dari Tuhan, maka kita akan mengalami pembaruan pikiran sehingga mengerti kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan dan sempurna (Rm. 12:2). Menarik sekali, dikatakan bukan mengerti apa yang baik dan jahat. Tentu ini sejajar dengan buah pohon kehidupan dan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Kalau kita tidak segera mengisi bejana hati ini dengan kebenaran, kita harus sadar untuk mulai mengisinya sekarang, sebab jika dibiarkan, suatu saat nanti kita tidak akan mampu lagi untuk mengisinya dengan kebenaran dan tidak lagi memiliki tempat untuk kebenaran Firman Tuhan. Menunda hal ini sama dengan memberontak kepada Allah, seperti makan buah yang dilarang Tuhan.
Jika kita memandang hak memperoleh berkat rohani sebagai sesuatu yang berharga, kita akan memilih untuk mengisi bejana hati kita dengan kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar