Renungan Harian Virtue Notes, 18 Desember 2010
Di Bawah Otoritas Kedaulatan-Nya
Bacaan: Yohanes 21: 18-19
21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku."
Kalau kita menjadi orang percaya, berarti kita menjadi milik Tuhan. Kalau kita menjadi milik Tuhan, kita harus mau menerima perlakuan apa pun juga dari-Nya. Bukankah kalau seseorang menjadi orang percaya oleh pengorbanan dan penebusan-Nya, itu berarti Tuhan memiliki penuh diri anak tebusan-Nya? Berarti kedewasaan seseorang ditandai dengan pengakuan hidup, “Janganlah kehendakku yang jadi, tetapi kehendak-Mu” (Mat. 26:39). Inilah sebenarnya inti penyerahan diri yang benar.
Maka setelah kita menjadi milik-Nya, timbul pergumulan baru dalam diri kita, bagaimana Allah dapat berdaulat penuh atas hidup kita, mengontrol dan mengambil alih kemudi hidup kita ini. Dengan kata lain, bagaimana kita memberi diri dan merelakan diri untuk dikuasai Allah sepenuhnya. Ini berarti sebagai milik Tuhan kita tidak akan pernah menanyakan hak-hak kita, apalagi mempersoalkan upah. Sebab dengan menjadi milik Tuhan, justru kitalah yang dipanggil untuk mengupayakan kepentingan-Nya.
Berkaitan dengan ini, Tuhan Yesus mengatakan kepada Petrus, bahwa ketika ia sudah mengerti kedaulatan Allah, ia tidak lagi seperti masih muda yang mengikat pinggangnya sendiri dan pergi ke mana saja ia suka. Tetapi setelah dewasa, tangannya diikat dan ia dibawa ke tempat yang tidak disukainya. Bahkan ia juga dinyatakan akan mati sebagai martir (ay. 19). Kita patut meneladani Petrus, karena sampai mati pun ia tetap setia mengikut Yesus. Ia patuh terhadap otoritas kedaulatan Tuhan.
Demikian pula kita patut meneladani sikap Maria, Ibu Yesus. Saat Malaikat Gabriel mengabarkan kehamilannya, ia berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk. 1:38) Ia sadar dirinya hamba atau budak (δοῦλος, dúlos) yang tidak berhak apa-apa atas dirinya.
Maka satu hal yang harus kita pahami, bahwa percaya kepada Tuhan Yesus sama sekali tidak berarti kita dapat mempergunakan-Nya untuk manfaat atau keuntungan diri sendiri. Percaya kepada Yesus berarti mengupayakan kepentingan Tuhan semata-mata, bahkan ketika Tuhan memperlakukan kita sepahit-pahitnya atau berada dalam keadaan menderita sekalipun. Kita tidak boleh membantah-Nya, apalagi bersungut-sungut bila kita mengerti kebenaran tersebut. Di balik semua perlakuan-Nya itu ada rencana yang indah bagi Yang Mulia, Majikan kita. Hidup kita bagai tanah liat yang ada di dalam tangan Tuhan. Terserah bagaimana Ia mau menjadikan kita, yang penting kita menjadi sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan direncanakan bagi kepentingan-Nya.
Sebagai milik Tuhan, kita harus mengupayakan kepentingan Tuhan dan menerima apa saja perlakuan-Nya terhadap kita.
Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar