Renungan Harian Virtue Notes, 14 Juni 2011
Covenant
Bacaan: 2 Korintus 11: 1-3
11:1. Alangkah baiknya, jika kamu sabar terhadap kebodohanku yang kecil itu. Memang kamu sabar terhadap aku!
11:2 Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus.
11:3 Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya.
Alkitab mengandung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sering sekali kita mendengar dan mengucapkannya, tetapi tahukah kita apa yang dimaksud dengan “perjanjian” ini? Kata “perjanjian” dalam bahasa Ibrani adalah בְּרִיתּ (brît) dan dalam bahasa Yunani adalah διαθήκη (diathékē) dalam hal ini adalah ikatan hubungan antara Tuhan dan umat-Nya.
Kalau ada perjanjian dua orang dalam dunia perdagangan, maka ikatan perjanjian di antara keduanya dalam bahasa Inggris disebut agreement yang maknanya “persetujuan”, “permufakatan”. Namun hubungan antara Tuhan dan umat-Nya laksana dua pribadi yang mengikat tali perkawinan. Itu tidak cukup diikat dengan kata agreement, tetapi covenant.
Kata “perjanjian” dalam makna covenant memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mengikat hubungan antara Tuhan Semesta Alam dan umat-Nya. Kata itu merupakan peringatan, bahwa umat terikat dengan suatu pribadi yaitu Allah Penciptanya, ibarat orang yang sudah menikah tidak bisa hidup suka-suka sendiri seperti saat dirinya masih lajang. Sebagai umat, kita tidak bisa hidup suka-suka sendiri. Dalam Perjanjian Lama, Inilah yang membedakan umat Israel dengan bangsabangsa lain. Dalam Perjanjian Baru, hal serupa ini juga masih berlaku bagi kita. Orang percaya terikat perjanjian dengan Tuhan, sebab orang percaya adalah mempelai Kristus. Karena itu kita tidak boleh hidup suka-suka sendiri.
Memahami pengertian ini mengharuskan kita merombak cara berpikir. Selama ini yang dipahami banyak orang adalah, kalau sudah menjadi Kristen berarti memiliki Tuhan yang luar biasa, yang memberkati dan bertindak membela umat-Nya. Akhirnya tanpa sadar mereka merasa bisa menggunakan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Pikiran ini timbul sebab kebutaan orang terhadap fakta perjanjian antara Allah dan umat-Nya.
Pernikahan yang baik bukanlah menuntut pasangan kita untuk membahagiakan kita, melainkan saling berusaha membahagiakan satu sama lain. Kalau melihat hanya dari satu sisi, yang terutama adalah membahagiakan pasangan kita, bukan dibahagiakan. Demikian pulalah dengan perjanjian antara Allah dengan kita. Sebagai orang yang dewasa rohani, kita akan mendahulukan kewajiban kita kepada Tuhan, dan bahkan tidak menuntut hak-hak kita. Inilah yang membedakan anak Tuhan yang dewasa dan yang belum/tidak dewasa. Orang Kristen yang dewasa akan berdoa, “Bentuklah aku agar dapat tetap setia atas perjanjian antara Kau dan aku.”
Orang Kristen yang dewasa rohani akan mendahulukan kewajibannya kepada Tuhan, dan tidak menuntut hak-haknya.
Diadaptasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar