Renungan Harian Virtue Notes, 9 Maret 2011
Menentukan Nasib Sendiri
Bacaan: Kejadian 3: 1-14
3:1. Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?"
3:2 Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan,
3:3 tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati."
3:4 Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati,
3:5 tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."
3:6. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.
3:7 Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.
3:8 Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.
3:9. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?"
3:10 Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."
3:11. Firman-Nya: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?"
3:12 Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."
3:13 Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: "Apakah yang telah kauperbuat ini?" Jawab perempuan itu: "Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan."
3:14. Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: "Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu.
Tuhan berdaulat memilih orang-orang menjadi manusia pilihan-Nya. Tetapi kedaulatan itu tidak berarti peran manusia sama sekali tidak ada. Bagi kita yang hidup pada zaman Perjanjian Baru ini, kita harus hidup bertanggung jawab menjadi manusia pilihan.
Dalam kenyataan hidup ini, nasib manusia juga ditentukan oleh keputusan dan pilihannya. Adam terusir dari Eden bukan karena Tuhan yang menentukan demikian, tetapi karena Adam memilih sendiri, sehingga harus bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya.
Kalau Tuhan sendiri yang membuat skenario kejatuhan manusia, atau Ia membuat manusia hanya untuk jatuh, Ia bukanlah Tuhan yang baik. Tetapi kenyataannya kejatuhan manusia bukanlah karena Tuhan, tetapi karena kehendak bebas manusia itu sendiri. Inilah hukum kehidupan, bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kehendak bebas dalam menentukan nasibnya: apa yang ditabur, itu juga yang dituainya.
Dalam hal ini ada misteri kehidupan yang tidak mudah dipecahkan, namun kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa manusia bukanlah makhluk yang disetir oleh Allah sepenuhnya. Ada bagian dalam diri manusia yang membuat manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Manusia bukan makhluk yang mengikuti arus nasib yang menghanyutkannya, dan tidak bisa menghindar dari nasib yang ditentukannya.
Menjadi umat pilihan juga sangat tergantung oleh pilihan, keputusan dan tindakan masing-masing individu. Setiap kita harus memiliki tindakan konkret untuk menjadi umat pilihan. Menganggap semuanya tergantung Allah yang menentukan cenderung membuat orang menjadi pasif—tidak berbuat hal-hal yang membangun pertumbuhan rohani yang melayakkan seseorang menjadi umat Allah—dan itu berbahaya, sebab itu dapat menggugurkan status kita sebagai umat pilihan.
Maka jangan menganggap respons terhadap anugerah untuk menjadi umat pilihan cukup dengan pergi ke gereja dan berbagai kegiatan pelayanan gereja. Itu belum harga yang benar yang dipatok Tuhan. Harganya adalah sepenuhnya meninggalkan cara hidup anak dunia. Orang yang merasa sudah menjadi umat pilihan tetapi tidak mau membayar harganya sesungguhnya belum pernah menjadi umat pilihan; pada akhirnya nanti ia akan terkejut ketika kecerobohannya itu membawa dirinya menjadi manusia yang terbuang.
Manusia bukan makhluk yang mengikuti arus nasib yang menghanyutkannya.
Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar