Renungan Harian Virtue Notes, 30 Juni 2010
Musafir
Bacaan : Ibrani 11 : 8-16
11:8 Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
11:9 Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.
11:10 Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.
11:11 Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.
11:12 Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.
11:13 Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.
11:14 Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.
11:15 Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.
11:16 Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.
Sebagai orang pertama yang dipanggil TUHAN menjadi musafir—yaitu orang yang berpola pikir sebagai warga Kerajaan Surga, dan menyadari bahwa dunia ini hanya tempat tinggal sementara— Abraham ternyata dipanggil TUHAN ke negeri yang sebenarnya bukan berada di bumi ini (Ibr. 11:13). Sekalipun hanya melihat dari jauh—entah dengan melalui penglihatan atau mimpi—Abraham tetap taat dan menyadari kemusafiran hidupnya. Dan saat sudah sampai di Tanah Kanaan, Abraham tinggal di kemah -seperti orang yang hanya singgah sementara di suatu tempat- (ayat 9) meski sebenarnya Abraham adalah orang yang sangat kaya.
Proses pemusafiran—atau proses menjadi musafir—ini bukan hanya untuk Abraham, TUHAN juga menghendaki kita menjalani proses pemusafiran ini. Caranya? Bisa saja IA memanfaatkan ketidaktahuan kita, tetapi tentu bisa juga melalui pelayanan pekerjaan Tuhan di bumi ini. Pelayanan pekerjaan Tuhan bisa dikatakan sukses kalau anak-anak TUHAN memiliki jiwa musafir. Mari kita mulai menyadari menghayati bahwa kita adalah warga Kerajaan Surga yang bukan berasal dari dunia ini, dan menyediakan diri kita memasuki proses pemusafiran. Dan kita juga perlu menyukseskan pelayanan pekerjaan TUHAN, yaitu memusafirkan sesama orang percaya, mengubah pola pikir mereka dari duniawi menjadi rohani.
Musafir
Bacaan : Ibrani 11 : 8-16
11:8 Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
11:9 Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.
11:10 Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.
11:11 Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.
11:12 Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.
11:13 Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.
11:14 Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.
11:15 Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.
11:16 Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.
Sebagai orang pertama yang dipanggil TUHAN menjadi musafir—yaitu orang yang berpola pikir sebagai warga Kerajaan Surga, dan menyadari bahwa dunia ini hanya tempat tinggal sementara— Abraham ternyata dipanggil TUHAN ke negeri yang sebenarnya bukan berada di bumi ini (Ibr. 11:13). Sekalipun hanya melihat dari jauh—entah dengan melalui penglihatan atau mimpi—Abraham tetap taat dan menyadari kemusafiran hidupnya. Dan saat sudah sampai di Tanah Kanaan, Abraham tinggal di kemah -seperti orang yang hanya singgah sementara di suatu tempat- (ayat 9) meski sebenarnya Abraham adalah orang yang sangat kaya.
Proses pemusafiran—atau proses menjadi musafir—ini bukan hanya untuk Abraham, TUHAN juga menghendaki kita menjalani proses pemusafiran ini. Caranya? Bisa saja IA memanfaatkan ketidaktahuan kita, tetapi tentu bisa juga melalui pelayanan pekerjaan Tuhan di bumi ini. Pelayanan pekerjaan Tuhan bisa dikatakan sukses kalau anak-anak TUHAN memiliki jiwa musafir. Mari kita mulai menyadari menghayati bahwa kita adalah warga Kerajaan Surga yang bukan berasal dari dunia ini, dan menyediakan diri kita memasuki proses pemusafiran. Dan kita juga perlu menyukseskan pelayanan pekerjaan TUHAN, yaitu memusafirkan sesama orang percaya, mengubah pola pikir mereka dari duniawi menjadi rohani.