RSS
email

Dapatkan Renungan Virtue Notes Langsung ke Email Anda!

Haruskah Mengalami Mukjizat?

Renungan Harian Virtue Notes, 10 Januari 2011

Haruskah Mengalami Mukjizat?



Bacaan: Matius 7: 21-23


7:21. Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.

7:22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?

7:23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"



Dewasa ini marak pengajaran bahwa kepercayaan terhadap Tuhan yang benar harus disertai dengan kepercayaan bahwa kuasa-Nya yang supranatural juga harus dialami oleh manusia. Secara kuat dikesankan bahwa Tuhan sangat menginginkan manusia mengalami kejaiban kuasa-Nya, bahkan menuntut agar kuasa-Nya bisa ditampilkan. Kalau tidak dikatakan “pamer”, Tuhan berkehendak dipuji karena kedahsyatan-Nya. Ini berarti setiap orang percaya harus mengalami hal-hal yang spektakuler yang di luar kemampuan manusia.


Diajarkan pula, sebagai imbalan atas kepercayaan orang terhadap kuasa-Nya, Tuhan akan memberikan mukjizat. Sebaliknya, bila tidak memercayai kuasa Tuhan, Ia akan menghukum manusia dengan sakit-penyakit, penderitaan fisik, dan kutuk-kutuk, sebab manusia dianggap menghina-Nya. Jika benar demikian, berarti Tuhan adalah pribadi yang gila hormat dan bergantung sanjungan manusia. Tentu tidak demikian bukan?


Kalau Alkitab berbicara mengenai mukjizat, apakah itu bermaksud bahwa kita boleh mengklaim bahwa kita pun bisa mengalami hal yang sama seperti yang dialami umat pilihan Allah dalam Alkitab? Jawaban yang gampang terdengar adalah, “Tentu saja,” sebab orang banyak diajar untuk memercayai kuasa Tuhan, dalam arti kuasa-Nya itu bisa, atau harus, berlaku atau terjadi dalam kehidupan kita hari ini.


Bahkan ada semacam kewajiban untuk memercayai bahwa kejadian yang tertulis dalam Alkitab harus juga dialami oleh umat Tuhan pada abad ke-21 ini. Selanjutnya, mukjizat juga dipandang sebagai ukuran keberhasilan pelayanan seseorang. Seorang hamba Tuhan yang sering mengadakan mukjizat dipandang sebagai orang yang diistimewakan Tuhan, dan berkualitas lebih tinggi daripada orang Kristen biasa.


Pandangan terhadap mukjizat seperti ini adalah salah. Kita bukannya tidak percaya bahwa mukjizat Tuhan masih terjadi sampai hari ini; tetapi mukjizat terjadi apabila Tuhan menghendakinya sesuai dengan rencana-Nya, bukannya berdasarkan keinginan diri kita sendiri. Kita juga tidak boleh mengukur perkenanan Tuhan terhadap seseorang dari prestasinya mengadakan mukjizat, tetapi dari ketaatan seseorang melakukan kehendak Bapa.


Pada akhirnya, mukjizat sama sekali bukan merupakan bukti bahwa seseorang diperkenan oleh Tuhan. Semasa menjadi murid Yesus, Yudas Iskariot juga bisa melakukan mukjizat, bisa mengusir setan, bisa berkhotbah dan mempertobatkan orang lain. Tetapi akhirnya, ia sendiri terbuang ke kegelapan abadi. Maka marilah kita berintrospeksi, sudahkah kita melakukan kehendak-Nya?



Lebih penting melakukan kehendak Tuhan daripada menampilkan mukjizat-Nya.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.


Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Lisensi Creative Commons
Renungan Virtue Notes is licensed under a Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di virtuenotes.blogspot.com.
 
Powered By Blogger