Renungan Harian Virtue Notes, 31 Oktober 2010
Dongeng Nenek
Bacaan: 1 Timotius 4:1-8
4:1. Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan
4:2 oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka.
4:3 Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran.
4:4 Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur,
4:5 sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa.
4:6. Dengan selalu mengingatkan hal-hal itu kepada saudara-saudara kita, engkau akan menjadi seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kauikuti selama ini.
4:7 Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.
4:8 Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.
“Jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua” (ay. 7). Ayat ini biasa dijadikan dasar bahwa kita harus menjauhi takhayul yang berasal dari cerita orang tua dan leluhur kita. Misalnya, tak perlu percaya larangan membeli jarum di malam hari; jangan menganggap angka 13 dan 4 (versi Tionghoa) adalah angka sial; tidak perlu takut membeli rumah tusuk sate; dan sebagainya. Tetapi mengapa ayat ini terselip di nasihat Paulus kepada Timotius? Adakah suatu maksud yang lain?
Kalau jeli membaca, sebetulnya yang disebut takhayul oleh Paulus di sini bukan hanya kepercayaan nenek moyang kita seperti contoh di atas—yang memang merupakan tipu daya Iblis— melainkan ajaran-ajaran palsu yang mengajarkan bahwa untuk menjadi suci, sebagai orang Kristen kita tidak cukup hanya melakukan apa yang ditulis Alkitab, tetapi harus juga melakukan “ibadah-ibadah tambahan”: tidak menikah, tidak makan daging, dan sebagainya (ay. 3). Di zaman sekarang kita bisa menambah daftar tersebut dengan tidak main Internet, tidak nonton sepak bola, dan sebagainya. Tetapi seperti kata Paulus, larangan itu bukan ajaran sehat (ay. 6).
Paulus menegaskan bahwa yang terpenting adalah melatih diri beribadah (ay. 7). Kata “ibadah” di sini aslinya tertulis εὐσέβεια (evsébīa) yang artinya “kesalehan terhadap Allah”, atau “kekudusan”. Ini bukan ibadah formal seperti kebaktian di gereja, bukan pula ritual-ritual. Bagi orang percaya, evsébīa mengacu kepada kehidupan Kristen yang benar di hadapan Tuhan, yaitu sikap dan cara hidup yang menempatkan Yesus Kristus sebagaimana mestinya sebagai Tuhan, dengan memuliakan Dia dan bukan sebaliknya malah berusaha mengatur Dia. Untuk hidup dalam evsébīa, kita harus melatih diri dengan serius (γυμνάζω, yimnázo), sebab itu tidak otomatis.
Sudah terlalu banyak pengkhotbah yang mengajar agar orang Kristen tidak boleh ini dan itu, dan banyak yang sudah memasukkan juga kategori “takhayul dan dongeng nenek-nenek tua” dalam ajarannya. Tetapi sejatinya yang terpenting adalah berusaha serius untuk hidup dalam kesalehan. Tidak makan daging, tidak menikah, tidak nonton film, tidak main game dan sebagainya tidak meningkatkan kesalehan kita di hadapan Tuhan. Kesalehan atau ibadah yang benar juga bukan dengan melakukan ritual-ritual lahiriah, sebab itu bisa dipalsukan (2Tim. 3:5).
Satu-satunya cara untuk hidup saleh adalah mengetahui kebenaran (Tit. 1:1), dan itu akan tercermin dalam hidup kita hari lepas hari. Karena itu berusahalah terus untuk mengejar pengetahuan akan kebenaran melalui Firman-Nya yang murni, agar kita dapat beribadah dengan benar di hadapan Tuhan dan hidup bertanggung jawab.
Untuk hidup saleh, kita harus mengetahui kebenaran, dan itu akan tercermin dalam ibadah kita.
Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar