Renungan Harian Virtue Notes, 4 September 2011
Merasa Merdeka Di Dalam Penjara
Bacaan: Yohanes 8: 31-34
8:31. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku
8:32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
8:33 Jawab mereka: "Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?"
8:34 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa.
Kalau suatu pengertian yang salah mengenai bagaimana hidup sebagai orang yang ber-Tuhan sudah telanjur mengakar dalam diri seseorang, itu akan menjadi belenggu yang sangat kuat. Apalagi jika pengertian-pengertian tersebut diyakininya sesuai dengan standar kebenaran Alkitab, itu akan menjadi penjara yang sangat kokoh. Ya, penjara itu akan menawannya dan belenggu itu akan mengikatnya selamanya. Ironisnya, mereka merasa sebagai orang-orang yang merdeka.
Kondisi ini sama seperti para pemimpin agama Yahudi yang merasa sebagai orang-orang yang merdeka, padahal mereka adalah orang-orang yang hidup dalam perbudakan (ay. 33). Mereka terbelenggu tapi merasa bebas; terpenjara tetapi merasa merdeka.
Banyak orang Kristen yang dipandang sebagai orang baik namun terpenjara. Penjara yang paling dominan menawan mereka adalah ketidakmampuan untuk mencapai standar yang diingini oleh Tuhan, sebab banyak pengertian rohani yang selama ini mereka anggap benar dan kebaikan yang mereka anggap sebagai standar Tuhan sejatinya tidak sesuai dengan dosis yang dikehendaki oleh Tuhan. Mereka terpenjara sebab dengan merasa sudah memiliki sesuatu yang baik, mereka merasa tidak perlu belajar kebenaran lagi.
Misalnya, orang Kristen yang tidak pernah terlibat skandal korupsi, pembunuhan dan kejahatan umum lainnya, serta berpartisipasi dalam kegiatan pelayanan gereja akan mudah diakui sebagai umat pilihan. Orang itu pun merasa sudah berada di tempat yang benar di hadapan Allah. Hidupnya sudah sesuai standar agamanya. Kondisi hidup seperti ini menciptakan suatu sistem kerohanian yang membelenggu; sebab orang yang merasa sudah pada rel yang benar akan menjadi kaku, dan tidak merasa perlu untuk berubah.
Manakala dihadapkan dengan standar Kekristenan yang murni, biasanya mereka mencoba untuk menentangnya dengan berbagai argumentasi. Kalau sampai tidak bisa mengelak karena argumentasinya ternyata lemah, umumnya mereka beralasan belum sanggup sampai taraf itu. Pada dasarnya argumentasi tersebut adalah sikap penolakan terhadap kebenaran Tuhan sebab mereka merasa ketenangan hidup mereka terganggu. Memang, kebenaran Firman yang murni akan mengganggu kesejahteraan hidup menurut pola manusia pada umumnya, sebab Kekristenan yang sejati akan merenggut hidup kita untuk bergumul guna memahami apa yang diingini oleh Bapa, dan sepenuhnya hidup di dalamnya secara absolut.
Standar Kekristenan yang murni memang mengganggu kesejahteraan hidup menurut pola manusia pada umumnya.
Diadaptasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar