RSS
email

Dapatkan Renungan Virtue Notes Langsung ke Email Anda!

Perasaan Juga Milik Tuhan

Renungan Harian Virtue Notes, 1 Pebruari 2011

Perasaan Juga Milik Tuhan



Bacaan: Roma 6: 1-6


6:1. Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?

6:2 Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?

6:3 Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?

6:4 Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

6:5 Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.

6:6 Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.



Akar dari kerusakan hidup manusia adalah dosa (Rm. 3:23). Ini mengakibatkan beberapa hal mewarnai temperamen atau watak seseorang, yang pada gilirannya mewarnai perasaannya. Pertama, faktor keturunan. Anak-anak merekam karakter orang tuanya, sehingga perasaannya dipengaruhi oleh karakter tersebut. Kedua, lingkungan. Pendidikan, keluarga, pergaulan dan sebagainya memengaruhi warna perasaan seseorang. Ketiga, pengalaman masa lalu. Pengalaman yang menyenangkan maupun yang traumatis turut membentuk kepribadian seseorang.


Karena temperamennya yang memengaruhi perasaan seseorang jika diperhadapkan dengan suatu situasi, ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, selalu minder, merasa tertolak, gampang marah dan lain sebagainya. Ini merupakan perasaan yang sakit dan tak jarang melukai perasaan orang di sekitarnya, bahkan menimbulkan bencana.


Kita harus sadar, bahwa tatkala kita bertobat, maka Tuhan Yesus telah menebus seantero diri kita, termasuk perasaan kita yang ada dalam jiwa kita. Artinya kita bukan lagi milik kita sendiri (1Kor. 6:19–20), sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita untuk memanjakan perasaan kita. Tidak bisa lagi kita mengatakan, “Memang saya dari dulu orangnya begini,” sebab kita tidak memiliki diri kita lagi.


Memanjakan perasaan kita berarti mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan Tuhan sendiri. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan dengan Kristus, sehingga kita tidak boleh lagi menghambakan diri kepada dosa. Yang disalibkan bukan hanya pikiran dan keinginan kita, melainkan juga perasaan kita.


Dengan mengakui bahwa kita telah mati bagi dosa dan dibangkitkan dalam hidup yang baru, maka perasaan-perasaan negatif kita juga telah mati. Memanjakan perasaan-perasaan itu berarti melestarikan kepuasan diri kita, padahal semestinya tidak ada lagi kepuasan diri yang kita sisakan, sebab apabila Yesus Kristus menjadi Tuhan kita, berarti Ia juga Majikan atau Penguasa atas perasaan kita. Demi kepentingan-Nya, kita harus rela berbuat apa saja.


Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, karena kita telah disalibkan bersama dengan-Nya. Dengan menyadari hal ini, maka kita tidak akan memanjakan perasaan kita yang berakibat gagal menjadi berkat bagi orang lain; sebaliknya, kita akan terus-menerus belajar dan berusaha mengenakan pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5).



Perasaan kita juga milik Tuhan, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk memanjakan perasaan kita.



Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.


Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Lisensi Creative Commons
Renungan Virtue Notes is licensed under a Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di virtuenotes.blogspot.com.
 
Powered By Blogger