Renungan Harian Virtue Notes, 21 Pebruari 2011
Compassion
Bacaan: Yunus 3: 10-4: 3
3:10 Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.
4:1. Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia.
4:2 Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: "Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya.
4:3 Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup."
Dalam kisah Nabi Yunus, ia memberitakan berita penghukuman Allah kepada orang-orang Niniwe, tetapi setelah orang-orang Niniwe bertobat dan Allah tidak jadi menghukum kota itu, ia menjadi kesal dan marah kepada Allah. Ia hanya melakukan perintah tanpa memiliki perasaan yang sama dengan si Pemberi perintah. Allah sang Pemberi perintah itu adalah pengasih dan penyayang (4:2).
Dalam bahasa asli, “penyayang” adalah רַחוּם (rakhûm), yang berarti penuh compassion. Kata compassion berarti rasa simpati atau terbeban dan belas kasihan terhadap penderitaan atau kemalangan orang lain. Yunus melayani Allah, tetapi ia tidak memiliki perasaan compassion.
Pelayanan yang tidak disertai perasaan ini bukanlah pelayanan yang dikehendaki Tuhan. Tanpa compassion, suatu kegiatan pelayanan sangat tidak berkualitas, -ingat bahwa pelayanan kita kepada Tuhan adalah seluruh aspek kehidupan kita di dunia ini- hanya merupakan kegiatan bekerja, berumah tangga, gereja atau sosial atau beragama yang tidak menyenangkan hati Tuhan.
Banyak aktivis gereja yang turut mengambil bagian dalam pelayanan sesungguhnya juga tidak memiliki compassion; mereka tidak memiliki keterbebanan terhadap keselamatan jiwa orang lain. Sejatinya ini karena mereka juga tidak memiliki keterbebanan terhadap keselamatan jiwanya sendiri. Pernyataan ini barangkali dianggap berlebihan. Bukankah setiap orang peduli terhadap keselamatan jiwanya sendiri? Namun faktanya, benar bahwa tidak semua orang peduli terhadap keselamatan jiwanya sendiri, sebab mereka tidak mengerti kebenaran.
Orang yang belum mengerti kebenaran tidak akan memiliki langkah yang benar untuk menyelamatkan jiwanya. Mereka hidup untuk mencari dan menikmati kesenangan jiwa seperti anak-anak dunia menikmatinya; ingin memiliki pasangan hidup yang ideal, keluarga yang baik, penghasilan yang baik, banyak sahabat yang bisa diajak menikmati kesenangan bersama, dan sebagainya. Semua itu hanya kegiatan mengisi waktu yang tidak berguna membangun kedewasaan rohaninya sendiri dan penyelamatan jiwa orang lain. Orang-orang ini tidak sanggup memahami dan menghayati kekekalan. Bagi mereka, hidup hanya sekali, harus dinikmati, dan untuk itu mereka terus mengumpulkan harta di bumi.
Tanpa menyadari bahwa kita harus peduli terhadap keselamatan jiwa kita, adalah omong kosong jika kita mengaku peduli terhadap keselamatan jiwa orang lain. Karena itu selama masih ada kesempatan, bertobatlah dan pindahkan hati ke surga (Mat. 6:19–21); itu berarti kita peduli terhadap keselamatan jiwa kita.
Kepedulian terhadap keselamatan jiwa orang lain diawali dari kepedulian terhadap keselamatan jiwa kita sendiri.
Dimodifikasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar