Renungan Harian Virtue Notes, 2 Januari 2012
Tselem Yang Terlantar
Bacaan: Mazmur 73:18-20
73:18 Sesungguhnya di tempat-tempat licin
Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.
73:19 Betapa binasa mereka dalam sekejap
mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!
73:20 Seperti mimpi pada waktu
terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.
Tujuh puluh tahun usia hidup manusia
sangatlah singkat bila dibandingkan dengan kekekalan. Dalam tulisannya,
Pemazmur menyatakan, “Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu
terjaga, rupa mereka Kaupandang hina” (ay. 20). Suatu hari nanti, ketika
seseorang terjaga di kekekalan, sadarlah mereka bahwa hidup ini seperti mimpi belaka.
Tetapi terlambat sudah; rupa mereka dipandang hina oleh Tuhan. Artinya keadaan
rohani mereka tidak indah di mata Tuhan.
Kata rupa dalam teks ini
dalam bahasa aslinya adalah צֶּלֶם
(tsélém) yang juga merupakan kata yang digunakan untuk menggambarkan bahwa
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dalam Kej. 1:26, atau aslinya צֶּלֶם (tsélém) dan דְּמוּת (demûth). Tsélém hendak menunjuk
gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki
manusia—yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakikat kerja.
Sementara demûth menunjuk keserupaan, dalam arti kualitas unsur-unsur tersebut.
Eloknya wajah kita
di kekekalan diukur dari kualitas tsélém kita, yaitu apa yang ada di dalam jiwa
kita—pikiran, perasaan dan kehendak kita. Jadi kalau selama hidup di dunia ini kita tidak
memedulikan wajah batiniah kita tersebut, jangan heran jika setelah meninggal
rupa kita tidaklah elok di mata Tuhan.
Seperti apakah sikap dan
perbuatan yang menelantarkan tsélém atau wajah batiniah itu? Misalnya, sibuk
mendandani wajah lahiriah dengan segala perhiasan fisik tetapi abai bahwa wajah
batiniah juga harus didandani. Atau, sibuk memperkaya diri dengan segala
fasilitas duniawi, namun lalai mengumpulkan harta di surga, yaitu keindahan
manusia batiniahnya.
Contoh orang yang
menelantarkan tsélém-nya adalah orang kaya dalam kisah orang kaya dan Lazarus
di Luk. 16:19–31. Setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Tidak bisa
dibayangkan, saat hidup di dunia ini berakhir, betapa menyesal hatinya karena
kedatangan Lazarus ke rumahnya sebenarnya merupakan kesempatan supaya ia dapat
menghiasi jiwanya dengan perhiasan yang berharga di mata Allah. Ia telah
menyia-nyiakan kesempatan itu; tidak ada lagi kesempatan yang lain. Selama
hidup, ia berpikir wajar seperti orang lain umumnya. Ia merasa dirinya sangat
realistis, tetapi saat menyaksikan kekekalan, barulah ia celik bahwa
sesungguhnya ia tidak berpikir realistis. Ia baru sadar bahwa selama di dunia
hidupnya hanya fantasi. Akhirnya semua yang dimilikinya lenyap dan rupanya
dipandang hina.
Utamakan mendandani wajah batiniah kita selama
masih ada kesempatan.
Diadaptasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar