Renungan Harian Virtue Notes, 6 Juli 2010
Musafir Menikmati Damai Sejahtera
Bacaan : Habakuk 3 : 17–19
3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,
3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.
3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).
Manakala kita memiliki jiwa musafir, kita niscaya dapat menikmati damai sejahtera TUHAN yang lebih murni. Ini karena saat seseorang meletakkan dan menggantungkan suasana hatinya kepada keadaannya di bumi ini, ia tidak menjadikan TUHAN sebagai sumber kebahagiaannya. Pemberhalaan seperti ini akan membuat kita tidak mampu menikmati damai sejahtera TUHAN. Kita tidak dapat menikmati berkat-NYA dalam arti sesungguhnya, tidak dapat menikmati diri-NYA.
Damai sejahtera TUHAN yang permanen tidak bisa dinikmati secara mistis. Menikmati secara mistis maksudnya merasakan damai sejahtera secara emosional hanya karena suasana liturgi dalam kebaktian. Damai seperti ini tidak permanen. Damai seperti ini adalah damai semu yang hanya merupakan perasaan sesaat, dan tidak akan membuat seseorang semakin sungguh-sungguh mengasihi TUHAN serta meninggalkan keterikatan dengan kesenangan dunia. TUHAN hanya menjadi kesukaan sementara baginya. Ia berarti masih berselingkuh dengan dunia, dan TUHAN masih menganggapnya sama dengan pengkhianat.
Untuk menikmati damai sejahtera TUHAN, ada syarat-syarat yang harus terpenuhi. Pertama, konsep mengenai hidup harus benar, atau mengenal kebenaran TUHAN. Inilah syarat yang paling dominan. Ketika kita memiliki konsep yang benar mengenai hidup ini, damai sejahtera TUHAN otomatis akan berkembang di dalam diri kita. Damai sejahtera itu akan berkembang seiring dengan bertambahnya pemahaman yang benar mengenai hidup atau kebenaran itu. Konsep hidup ini juga akan membuat kita dapat memenuhi syarat yang lain.
Kedua, kita kembali kepada ciri-ciri musafir yang sebelumnya yaitu harus memiliki rasa cukup. Orang yang belum merasa cukup tidak akan menjadikan TUHAN segalanya, sehingga tidak dapat memperoleh damai sejahtera-NYA.
Ketiga, memiliki karakter yang telah terbentuk dengan baik. Orang yang karakternya buruk tidak akan dapat menikmati damai sejahtera TUHAN, sebab mereka tidak mungkin dapat hidup dalam persekutuan dengan TUHAN, sehingga tidak mungkin menikmati damai sejahtera secara permanen.
Dengan ketiga syarat ini, dalam keadaan ekstrem seperti yang dilukiskan oleh Nabi Habakuk pun kita tetap akan menikmati damai sejahtera TUHAN, padahal dalam pandangan dunia itu merupakan keadaan yang tidak sejahtera. Belajarlah memenuhi syarat-syarat kemusafiran untuk menikmati damai sejahtera TUHAN, dan di tengah keadaan apa pun kita akan bersorak-sorai dan beria-ria di dalam TUHAN.
Musafir Menikmati Damai Sejahtera
Bacaan : Habakuk 3 : 17–19
3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,
3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.
3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).
Manakala kita memiliki jiwa musafir, kita niscaya dapat menikmati damai sejahtera TUHAN yang lebih murni. Ini karena saat seseorang meletakkan dan menggantungkan suasana hatinya kepada keadaannya di bumi ini, ia tidak menjadikan TUHAN sebagai sumber kebahagiaannya. Pemberhalaan seperti ini akan membuat kita tidak mampu menikmati damai sejahtera TUHAN. Kita tidak dapat menikmati berkat-NYA dalam arti sesungguhnya, tidak dapat menikmati diri-NYA.
Damai sejahtera TUHAN yang permanen tidak bisa dinikmati secara mistis. Menikmati secara mistis maksudnya merasakan damai sejahtera secara emosional hanya karena suasana liturgi dalam kebaktian. Damai seperti ini tidak permanen. Damai seperti ini adalah damai semu yang hanya merupakan perasaan sesaat, dan tidak akan membuat seseorang semakin sungguh-sungguh mengasihi TUHAN serta meninggalkan keterikatan dengan kesenangan dunia. TUHAN hanya menjadi kesukaan sementara baginya. Ia berarti masih berselingkuh dengan dunia, dan TUHAN masih menganggapnya sama dengan pengkhianat.
Untuk menikmati damai sejahtera TUHAN, ada syarat-syarat yang harus terpenuhi. Pertama, konsep mengenai hidup harus benar, atau mengenal kebenaran TUHAN. Inilah syarat yang paling dominan. Ketika kita memiliki konsep yang benar mengenai hidup ini, damai sejahtera TUHAN otomatis akan berkembang di dalam diri kita. Damai sejahtera itu akan berkembang seiring dengan bertambahnya pemahaman yang benar mengenai hidup atau kebenaran itu. Konsep hidup ini juga akan membuat kita dapat memenuhi syarat yang lain.
Kedua, kita kembali kepada ciri-ciri musafir yang sebelumnya yaitu harus memiliki rasa cukup. Orang yang belum merasa cukup tidak akan menjadikan TUHAN segalanya, sehingga tidak dapat memperoleh damai sejahtera-NYA.
Ketiga, memiliki karakter yang telah terbentuk dengan baik. Orang yang karakternya buruk tidak akan dapat menikmati damai sejahtera TUHAN, sebab mereka tidak mungkin dapat hidup dalam persekutuan dengan TUHAN, sehingga tidak mungkin menikmati damai sejahtera secara permanen.
Dengan ketiga syarat ini, dalam keadaan ekstrem seperti yang dilukiskan oleh Nabi Habakuk pun kita tetap akan menikmati damai sejahtera TUHAN, padahal dalam pandangan dunia itu merupakan keadaan yang tidak sejahtera. Belajarlah memenuhi syarat-syarat kemusafiran untuk menikmati damai sejahtera TUHAN, dan di tengah keadaan apa pun kita akan bersorak-sorai dan beria-ria di dalam TUHAN.
0 komentar:
Posting Komentar