Renungan Harian Virtue Notes, 14 Juli 2010
Damai Yang Berbeda
Bacaan : Matius 10 : 34–39
10:34 "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.
10:35 Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya,
10:36 dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.
10:37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.
Bila berbicara mengenai damai, sebenarnya banyak orang yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan damai itu. Kata damai tentu yang sudah sangat kita kenal. Kata ini berarti “keadaan di mana tidak ada perang”, sinonimnya tenteram, tenang atau aman. Keadaan damai umumnya kerap dihubungkan dengan keadaan hidup tanpa persoalan, ancaman dan kesukaran. Dengan konsep ini orang berusaha menempatkan diri dalam kondisi tidak bermasalah.
Saat negara kita dilanda berbagai krisis, semua anggota masyarakat menjerit karena kondisi ekonomi sangat sulit. Sebagian orang berusaha meninggalkan negeri ini untuk menjadi warga negara lain, misalnya Amerika atau Australia. Mengapa? Sebab mungkin mereka memimpikan suatu keadaan masyarakat dan ekonomi yang baik, sehingga mereka dapat merasakan damai menurut model mereka. Apakah damai seperti ini yang kita butuhkan?
Pada dasarnya, TUHAN Yesus tidak datang untuk menciptakan damai seperti konsep yang diharapkan oleh manusia secara duniawi. Bila konsep yang diharapkan anak TUHAN seperti ini, berarti terdapat benturan visi dengan TUHAN. Akhirnya kita akan menjadikan Yesus sebagai TUHAN, Juru Selamat, dan Raja versi kita, seperti yang kita mau. Raja yang menyenangkan kita, yang memberikan segala yang kita ingini. Sebagai akibatnya kita akan gagal menyambut karya keselamatan ALLAH dalam Yesus Kristus. Kegagalan tersebut karena keselamatan yang diharapkan hanya berupa solusi menghadapi persoalan fana dunia ini.
Apabila pengertian kita mengenai damai adalah seperti yang diajarkan dunia, yaitu memiliki fasilitas dan kondisi hidup yang nyaman tanpa masalah, itu menjadi sekadar mimpi belaka, karena hidup ini tidak mungkin tidak bermasalah—baik masalah kita sendiri maupun masalah orang lain. Harapan mengenai damai seperti ini tidak seirama dengan TUHAN Yesus. Ia berkata, “Aku datang bukan membawa damai, tetapi pedang” (ay. 34). Pedang di sini diterjemahkan dari kata μάχαιρα (mákhaira), yakni gambaran keadaan dunia yang bermasalah dan makin bermasalah. TUHAN Yesus mengizinkan berbagai bencana menimpa bumi, agar manusia disadarkan bahwa mereka adalah makhluk yang terbatas dalam segala hal dan membutuhkan dunia lain yang lebih baik, bukan dunia ini, yang akan menjadi lautan api. Dengan kesadaran mengenai hal ini kita akan meraih damai yang benar, yaitu manakala kita merindukan kekekalan bersama TUHAN di langit yang baru dan bumi yang baru.
Damai Yang Berbeda
Bacaan : Matius 10 : 34–39
10:34 "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.
10:35 Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya,
10:36 dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.
10:37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.
Bila berbicara mengenai damai, sebenarnya banyak orang yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan damai itu. Kata damai tentu yang sudah sangat kita kenal. Kata ini berarti “keadaan di mana tidak ada perang”, sinonimnya tenteram, tenang atau aman. Keadaan damai umumnya kerap dihubungkan dengan keadaan hidup tanpa persoalan, ancaman dan kesukaran. Dengan konsep ini orang berusaha menempatkan diri dalam kondisi tidak bermasalah.
Saat negara kita dilanda berbagai krisis, semua anggota masyarakat menjerit karena kondisi ekonomi sangat sulit. Sebagian orang berusaha meninggalkan negeri ini untuk menjadi warga negara lain, misalnya Amerika atau Australia. Mengapa? Sebab mungkin mereka memimpikan suatu keadaan masyarakat dan ekonomi yang baik, sehingga mereka dapat merasakan damai menurut model mereka. Apakah damai seperti ini yang kita butuhkan?
Pada dasarnya, TUHAN Yesus tidak datang untuk menciptakan damai seperti konsep yang diharapkan oleh manusia secara duniawi. Bila konsep yang diharapkan anak TUHAN seperti ini, berarti terdapat benturan visi dengan TUHAN. Akhirnya kita akan menjadikan Yesus sebagai TUHAN, Juru Selamat, dan Raja versi kita, seperti yang kita mau. Raja yang menyenangkan kita, yang memberikan segala yang kita ingini. Sebagai akibatnya kita akan gagal menyambut karya keselamatan ALLAH dalam Yesus Kristus. Kegagalan tersebut karena keselamatan yang diharapkan hanya berupa solusi menghadapi persoalan fana dunia ini.
Apabila pengertian kita mengenai damai adalah seperti yang diajarkan dunia, yaitu memiliki fasilitas dan kondisi hidup yang nyaman tanpa masalah, itu menjadi sekadar mimpi belaka, karena hidup ini tidak mungkin tidak bermasalah—baik masalah kita sendiri maupun masalah orang lain. Harapan mengenai damai seperti ini tidak seirama dengan TUHAN Yesus. Ia berkata, “Aku datang bukan membawa damai, tetapi pedang” (ay. 34). Pedang di sini diterjemahkan dari kata μάχαιρα (mákhaira), yakni gambaran keadaan dunia yang bermasalah dan makin bermasalah. TUHAN Yesus mengizinkan berbagai bencana menimpa bumi, agar manusia disadarkan bahwa mereka adalah makhluk yang terbatas dalam segala hal dan membutuhkan dunia lain yang lebih baik, bukan dunia ini, yang akan menjadi lautan api. Dengan kesadaran mengenai hal ini kita akan meraih damai yang benar, yaitu manakala kita merindukan kekekalan bersama TUHAN di langit yang baru dan bumi yang baru.
0 komentar:
Posting Komentar