Renungan Harian Virtue Notes, 16 Februari 2012
Nyanyian Kematian
Bacaan: Yohanes 15:13
15:13
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
Bayangkan, Anda sedang tergeletak di ruang
ICU (Intensive Care Unit) di rumah sakit. Nafas Anda hanya tinggal sepotong
saja; artinya untuk bernafas pun harus menggunakan alat bantu. Tidak ada
lantunan musik klasik atau lagu pop. Kalaupun ada nyanyian, yang terdengar
adalah nyanyian kematian. Seakan-akan penghuni ruangan ICU tersebut sedang
mempersiapkan suatu paduan suara bersama dalam senandung nyanyian kematian.
Terdengar suara monoton alat-alat medis yang tengah menopang nyawa orang-orang
yang sedang sekarat, termasuk Anda. Dingin, tegang, mengerikan.
Anda tidak bisa membedakan
kapan siang kapan malam; yang Anda tahu, bila malam tiba semua menjadi senyap.
Tidak ada lagi hilir mudik orang-orang yang datang membusuk untuk melawat dan
mendoakan mereka yang sakit. Kalau malam tiba hanya terdengar sesekali suster
dan dokter berbicara perlahan setengah berbisik; terdengar langkah sandal yang
diseret. Itu pasti langkah suster atau dokter. Kadang-kadang terdengar langkah
kaki keluarga pasien yang menengok anggota keluarga mereka yang sakit di tengah
malam. Semakin malam, suasana lebih senyap lagi, seakan-akan Anda sudah ada di
kuburan. Menengok ke kanan dan ke kiri hanyalah ranjang-ranjang pasien yang
bernasib sama dengan Anda. Tak terpikir adanya televisi yang menayangkan
sinetron berseri yang selama ini menemani Anda sebelum terlelap tidur ketika
Anda masih sehat. Kalau penciuman Anda masih berfungsi, yang tercium hanyalah
bau khas ruang rumah sakit yang sarat obat-obatan. Tidak ada wangi parfum atau
aroma kopi hangat.
Dokter sudah memberi
isyarat kepada keluarga bahwa sudah tidak ada harapan bagi keadaan Anda. Nyawa
Anda tidak lebih dari beberapa hari atau bahkan hanya tinggal beberapa jam,
oleh karenanya dokter menyarankan agar keluarga bisa dikumpulkan. Barangkali
Anda masih bisa merasakan kehadiran keluarga di sekitar Anda, tetapi sudah
tidak mampu menggerakkan anggota tubuh sama sekali. Kalau bisa berbicara, Anda
ingin berkata, “Temani aku, temani aku.” Tetapi suara itu tidak akan terdengar
sebab mulut pun sedang dipenuhi selang ventilator.
Akankah pada waktu
seperti itu kita mengingat Sahabat kita yang bernama Yesus Kristus, yang sudah
mati untuk kita? Masih
mampukah kita berkata, “Tuhan, Engkau sahabatku. Temanilah aku”? Dan apakah
saat-saat terakhir itu menjadi saat yang mengerikan atau saat yang menyenangkan,
sebab kita tahu akan melihat Sahabat Sejati kita itu? Itu harus kita renungkan
mulai sekarang.
Saat nyanyian kematian terdengar, kita tahu bahwa
Sahabat Sejati kita menemani.
Diadaptasi dari Truth Daily Enlightenment, dengan ijin penerbit.
0 komentar:
Posting Komentar